BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam Islam kita semua diwajibkan mengenal siapa yang kita sembah,
agar kita ikhlas dan senang mengerjakan semua perintah yang diberikan-Nya
kepada kita. Kita sering mendengar ungkapan yang tidak asing lagi ditelinga
kita yaitu: اَوَّلُ
الدِّيْنِ مَعْرِفَةُ اللهِ yang pertama agama itu mengenal Allah.
Maka dalam makalah kami yang begitu singakat ini akan mencoba
membahas pengertian Ma`rifat, tujuan, kadudukannya, tokoh-tokohnya dan
masih banyak lagi.
B. Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan penulisan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Memenuhi tugas yang telah dierikan oleh
Dosen Pembimbing kami dalah Mata kuliah Akhlak Tasawuf.
2. Menambah khajanah pengetahuan khususnya
dibidang Ma`rifat.
3. Semoga setelah membaca isi makalah ini
keimanan dan ibadah kita menjadi semakin meningkat.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Istilah Ma`Rifah berasal dari kata “ Al-Ma`rifah”, yang
berarti mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apa bila dihubungkan dengan pengalaman Tasawuf, maka istilah
ma`rifah disini berarti mengenal Allah ketika Sufi mencapai suatu Maqam dalam
Tasawuf.
kemudian istilah ini dirumuskan definisinya oleh beberapa Ulama
Tasawuf, antara lain:
a.
Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah satu pandapat Ulama
Tasawuf yang mengatakan
اَلْمَعْرِفَةُ جَزْمُ الْقَلْبِ بِوُجُوْدِ الْوَاجِبِ الْمَوْجُوْدِ
مُتَّصِفًا بِسَائِرِ الْكَمُلَاتِ
Artinya:
“Ma`rifah adalah suatu ketetapan hati
(dalam mempercayai kahadirannya) wujud yang wajib adanya ( Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaannya.”
b. Asy-Syekh
Ihsan Muhammad Dahlan Al-Kurdiriy mengemukakan pendapat Abu Ath-Thayib
A-Samiriy yang mengatakan:
اَلْمَعْرِفَةُ طُلُوْعُ الْحَقِّ وَهُوَ اْلقَلْبُ بِمُوَاصِلَةِ
الأَنْوَارِ
Artinya:
“Ma`rifah adalah hadirnya kebenaran Allah (pada Sufi) dalam keadaan hatinya selalu berhubungan
dengan Nur Ilahi.
Tidak
semua orang yang menuntut ajaran Tasawuf dapat mencapai ketingkatan ma`rifah.
Karena itu, Sufi yang sudah mendapatkan ma`rifah, memiliki tanda-tanda
tertentu, sebagaimana keterangan Dzun-Nun Al-Mishri yang mengatakan: ada
beberapa tanda yang dimiliki oleh Sufi apabila sudah sampai kepada tingkatan Ma`rifah,
antara lain:
a. Selalu memancar
cahaya ma`rifah padanya dalam segala sikap dan perilaku, karena itu, sikap wara`
selalu ada pada dirinya.
b. Tidak selalu
menjadikan kepada sesuatu yang berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena
hal-hal yang nyata dalam ajaran Tasawuf belum tentu benar.
c. Tidak
mengingkan ni`mat yang banyak kepada dirinya, kerana hal itu bisa membawanya
kepada perbuatan yang haram.
Dari sini lah kita dapat melihat bahwa seorang
Sufi tidak membutuhkan kehidupan yang mewah, kecuali tingkatan kehidupan yang
hanya sekedar dapat menunjang kegiatan ibadahnya kepada Allah SWT.
sehingga Asy Syekh Muhammad bin Al-Fadhal
mengatakan bahwa ma`rifah yang dimiliki Sufi cukup dapat memberikan kebahagian bathin
kepadanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
Selanjutnaya ma`rifah itu disamping merupakan anugerah dari Allah,
dapat pula dicapai melalui syari`at, menempuh thariqat dan memperoleh Haqiqat.
Apabila syari`at dan thariqat sudah dapat dikuasai, maka timbullah haqiqat yang
tidak lain daripada perbaikan keadaan dan ahwal. sedangkan tujuan terakhir
ialah Ma`rifah yaitu mengenal Allah dan mencintainya yang sebenar-benarnya dan
sebaik-baiknya.
Dalam kitab “Syarhul Maqashid “ Taftazani menyatakan: “apabila
seseorang telah mencapai tujauan terakhir dalam perjalanan suluknya ilallah dan
fillah, pasti ia akan tenggelam dalam lautan tauhid dan `irfan sehingga zatnya
selalu dalam pengawasan zat Tuhan dan
sifatnya selalu dalam pengawasan sifat Tuhan. ketika itu lah orang tersebut
fana dan lenyap dalam keadaan “ma
siwallah” (segala yang lain daripada Allah) ia tidak lagi melihat dalam wujud
alam ini kecuali Allah.
Orang yang mencapai maqam
ma`rifah itu disebut `Arif billah. Dan pada tingkat inilah ia dapat mengenal dan
merasakan adanya Tuhan, bukan sekedar mengetahui Tuhan
itu ada.
Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa mendekati Tuhan,
merasa adanya Tuhan dari ma`rifatullah hanya dapat dicapai dengan menempuh satu
jalan, yaitu jalan yang ditempuh oleh kaum Sufi.
Selanjutnya Al-Ghazali berkata: “barangsiapa mengalaminya, hanya akan dapat
mengatakan bahwa itu, suatu hal yang tak dapat diterangkan,
indah, utama dan jangan lagi bertanya”. Beliau berkata lagi:
“Bahwa hatilah yang dapat mencapai haqiqat
sebagaimana yang telah tertulis pada Lauh Mahfudh, yaitu hati yang sudah bersih
dan suci murni. Wal hasil. tempat untuk mengenal dan melihat Allah adalah Hati.
B.
Faham Ma`rifah
Ada segolongan orang Sufi mempunyai ulasan bagaimana haqiqat
ma`rifah. Mereka mengemukakan faham-fahamnya antara lain:
a.
Kalau mata yang ada didalahm hati
sanubari manusia terbuka, maka mata kepala tertutup, dan waktu inilah yang
dilihat hanya Allah.
b.
Ma`rifah adalah cermin. apabila seorang yang arif melihat kepada
cermin maka yang ada dilihatnya hanya Allah.
c.
Orang arif baik diwaktu tidur dan bangun yang dilihatnya hanyalah
Allah.
d.
Seandainya Ma`rifah itu materi maka semua orang yang melihatnya
pasti akan mati karena tidak tahan melihat kecantikan serta keindahannya. dan
semua cahaya akan menjadi gelap disamping cahaya yang indah dan
gilang-gemilang.
Menurut Zunnun Al-Misrilah
bahwa pengetahuan tentang Tuhan ada
tiga macam:
a.
Pengetahuan awam
memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perantara ucapan
syahadat.
b.
pengetahuan Utama
memberi penjelasan bahwa Tuhan satu menurut akal (logika)
c.
pengetahuan Sufi
memberi penjelasan bahwa Tuhan satu dengan perentaraan hati sanubari.
Bahwa
pengatahuan awam dan ulama di atas,
belum dapat memberikan pengetahuan hakiki tentang Tuhan. Sehingga pengetahuan
tersebut baru disebut ilmu, belum dapat dikatakan sebagai ma`rifah. Akan tetapi
pengetahuan yang disebut ma`rifah adalah pengetahuan Sufi. Ia dapat mengetahui hakikat Tuhan Ma`rifah.
Sehingga ma`rifah hanya dapat diperoleh
pada kaum Sufi. mereka sanggup melihat Tuhan dengan cara melalui hati
sanubarinya. Disamping juga mereka di
dalam hatinya penuh dengan cahaya.
C.
Jalan Ma`rifah
Kaum Sufi untuk mendapatkan suatu ma`rifah melalui jalan yang
ditempuh dengan mempergunakan suatu alat di antaranya:
a.
السرّ sir
b.
Menurut Al-Qusyairi ada tiga yaitu:
1.
Qalb القلب
fungsinya untuk dapat mengetahui
2.
Ruh الروح
fungsinya untuk dapat mencintai
3.
Sir السرّ
fungsinya untuk melihat Tuhan
Kedudukan Sir lebih halus daripada ruh dan qalb. Dan ruh
lebih halus dari qalb. Qalb selain
sebagai alat untuk merasa juga sebagai alat untuk berfikir. Bedanya qalbu
dengan aqal ialah: kalau aqal tidak dapat menerima pengetahuan tentang hakikat
Tuhan. tetapi Qalb dapat mengetahui hakikat dari segala yang ada dan manakala
dilimpahkan suatu cahaya dari Tuhan, bisa mengetahui rahasia-rahasia Tuhan.
D. Tokoh Yang
Mengembangkan Ma`rifah
Dalam literatur Tasawuf dijumpai dua orang
tokoh yang mengenalkan paham ma`rifah ini, yaitu Al-Ghazali dan Zun al-Nun al-Misri.
Al-Ghazali nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali lahir pada tahun 1059 M. di Ghazaleh, suatu
kota kecil terletak di dekat Tus di Khurasan. Ia pernah belajar pada Imam Al-Haramain
Al-Juwaini. Guru besar di Madrasah Al-Nizamiyah Nisyafur. setelah mempelajari
ilmu agama ia mempelajari ilmu teologi, ilmu pengetahua alam, filsafat dan
lain-lainnya. akhirnya ia memilih tasawuf sebagai jalan hidupnya. Setelah
brtahun-tahun mengembara sebagai Sufi ia kembali ke Tus di tahun 1105 M. dan meninggal
di sana pada tahun 1111 M.[1]
Adapun Zun al-Misri berasal dari Naubah,
suatu negeri yang terlerak antara Sudan dan Mesir. Tahun kelahirannya tidak
banyak diketahui, yang diketahui hanya tahun wafatnya, yaitu 860 M. menurut
Hamka. beliaulah puncaknya kaum Sufi dalam abad ketiga hijriyah. Beliaulah yang
banyak sekali menambahkan jalan untuk munuju kepada Tuhan. yaitu mencintai
Tuhan,membenci yang sedikit, menuruti garis perintah yang diturunkan, dan takut
terpaling dari jalan yang benar.[2]
Mengenai bukti bahwa kedua tokoh tersebut
membawa paham ma`rifah dapat di ikuti
dari pendapat-pendapatnya di bawah ini:
Al-Ghazali mengatakan bahwa ma`rifah
adalah:
الإطلاع على أسرار الربوبيّة والعلم بترتب الأمور الإلـهيّة المحيطة
بكل الموجودات
Tampak jelas rahsia-rahasia
ketuhanan dan pengetahuan mengenai susunan urusan ketuhanan yang mencakup
segala yang ada.[3]
Seterusnya
Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang mempunyai ma`rifah tentang Tuhan, yaitu
Arif, tidak akan mengatakan Yaa Allah (( يا الله atau
Yaa Rabb ( ياربّ)
karena memanggil Tuhan dengan kata-kata serupa ini menyatakan bahwa Tuhan ada
berada dibelakang tabir. orang yang duduk berhadapan dengan temannya tidak akan
memanggil temannya itu.
tetapi
bagi Al-Ghazali ma`rifah urutannya terlebih dahulu daripada mahabbah, karena
mahabbah timbul dari ma`rifah.
E. Ma`rifah
dalam pandangan Al-Qur`an dan Al-Hadits
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ma`rifah adalah
pengetahuan tentang rahasia-rahasia dari Tuhan yang diberikan kepada hambanya,
melalui pancaran cahaya-Nya yang dimasukan Tuhan kedalam hati seorang Sufi.
dengan demikian ma`rifah berhubungan dengan Nur (cahaya Tuhan). Di dalam Al-Qur`an dijumpai tidak
kurang dari 43 kali kata Nur diulang dan sebagian besar dihubungakn dengan
Tuhan.Misalnya ayat yang berbunyi:
`tBur óO©9 È@yèøgs† ª!$# ¼çms9 #Y‘qçR $yJsù ¼çms9 `ÏB A‘qœR ÇÍÉÈ
Artinya:
Dan Barangsiapa
yang tiada diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah Tiadalah Dia mempunyai cahaya
sedikitpun.
`yJsùr&
yyuŽŸ°
ª!$#
¼çnu‘ô‰|¹
ÉO»n=ó™M~Ï9
uqßgsù
4’n?tã
9‘qçR
`ÏiB
¾ÏmÎn/§‘
4
Artinya:
Maka Apakah
orang-orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) agama Islam lalu ia
mendapat cahaya dari Tuhannya (sama dengan orang yang membatu hatinya)?
Dan ayat tersebut sama-sama berbicara tentang cahaya Tuhan. Cahaya
tersebut ternyata daapat diberikan Tuhan kepada hambanya yang ia kehendaki.
Mereka yang mendapatkan cahaya akan
dengan mudah dapat mendapatkan petunjuk
hidup, sedangkan mereka yang tidak mendapatkan cahaya akan mendapatkan
kesesatan hidup. Dalam ma`rifah kepada
Allah, yang didapat oleh seorang sufi adalah cahaya. Dengan demikian, ajaran
ma`rifah sangat dimungkinkan terjadi didalam Islam, dan tidak bertentangan
dengan Al-Qur`an.
Selanjutnya didalam Hadis kita jumpai
Sabda Rasulullah yang berbunyi:
كنت
خزينة خافية احببت أن أعرف فخلقت الخلق فتعرفت إليهم فعرفوني
Aku (Allah) perbendaharaan yang tersembunyi.
aku ingin memperkenalkan siapa aku, maka aku ciptakan lah makhluk. Oleh kerena itu aku memperkenalkan diriku kepada mereka. Maka mereka itu mengenalku. (Hadits Qudsi).
Hadis tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah dapat dikenal oleh
manusia. cara nya dengan mengenal atau meneliti ciptaan-Nya. Ini menunjukan
bahwa ma`rifah dapat terjadi, dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
ma’rifah
menurut al-Ghazali adalah bukan hasil pemikiran manusia, melainkan merupakan
karunia tuhan kepada hambaNya yang sanggup menerimanya.
menurut
al-Ghazali, ma’rifah sesuatu yang tidak menyebabkan manusia itu terpadu atau
bersatu dengan tuhan. Sedangkan menurut al-Mishri, dengan mema’rifah manusia
akan bersatu dengan tuhannya karena tuhan membuka tabir (hijab) sehingga
terjadi komunikasi dua arah antara makhluk dan akhlak.
DAFTAR
PUSTAKA
Nata, Abuddin. Prof. H. M. A. Akhlak
Tasawuf. PT: Raja Grafindo Persada.
JAKARTA 1996
Mustafa, Drs. H. A. Akhlak
Tasawuf. CV. PUSTAKA SETIA 1997
Al-Aziz S,
Saifullah, Moh. Ust. Drs. Risalah memahami ilmu Tasawuf. Terbit Terang. Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar