Assalamualaikum...

Assalamualaikum...

Selasa, 26 Agustus 2014

Perbedaan Jual beli dan Riba, Saksi dalam Jual Beli, Penimbunan Barang dan Jual Beli Saham



BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Allah swt telah menjadikan manusia masing-masing saling membutuhkan satu sama lain, supaya mererka tolong menolong, tukar-menukar keperluan dalam segala urusan kepentingan hidup masing-masing, baik dengan jalan jual beli, sewa-menyewa, bercocok tanam, atau perusahaan yang lain-lain, baik dalam urusan kepentingan sendiri maupun untuk kemaslahatan umum. Dengan cara demikian kehidupan masyarakat menjadi teratur dan subur, pertalian yang satu dengan yang lain pun menjadi teguh. Akan tetapi, sifat loba dan tamak tetap ada pada manusia, suka mementingkan diri sendiri supaya hak masing-masing jangan sampai tersia-sia, dan juga menjaga kemaslahatan umum agar pertukaran dapat berjalan dengan lancar dan teratur. Oleh sebab itu, agama memberi peraturan yang sebaik-baiknya, karena dengan teraturnya muamalat, maka penghidupan manusia jadi terjamin pula dengan sebaik-baiknya sehingga perbantahan dan dendam-mendendam tidak akan terjadi.
Nasihat Luqmanul Hakim kepada anaknya, “Wahai anakku! Berusahalah untuk menghilangkan kemiskinan dengan usaha yang halal. Sesungguhnya orang yang berusaha dengan jalan yang halal itu tidaklah akan mendapat kemiskinan, kecuali apabila dia telah dihinggapi oleh tiga macam penyakit, yaitu:
1.      Tipis kepercayaan agamanya.
2.      Lemah akalnya.
3.      Hilang kesopanannya.
Jadi, yang dimaksud dengan muamalat ialah tukar-menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat dengan cara yang ditentukan, seperti jual beli, sewa-menyewa, upah-mengupah, pinja-meminjam, urusan bercocok tanam, berserikat, dan usaha lainnya.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini adalah:
1.      Apa perbedaan antara jual beli dan riba?
2.      Bagaimana pengaruh saksi dalam jual beli?
3.      Bagaimana hukum penimbunan barang?
4.      Bagaimana hukum jual beli saham?

C.     Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui perbedaan antara jual beli dan riba.
2.      Untuk mengetahui pengaruh saksi dalam jual beli.
3.      Untuk mengetahui bagaimana hukum penimbunan barang.
4.      Untuk mengetahui bagaimana hukum jual beli saham.
D.    Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah yang sangat sederhana ini, kami mengambil dari berbagai literatur-literatur  yang ada di perpustakaan. Dan kami juga mengambil sedikit banyaknya dari berbagai situs-situs internet yang berkaitan dengan pembahasan kami.













BAB II
PEMBAHASAN
A.     Jual Beli
1.      Pengertian
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad). Q.S Al-Baqarah: 275
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Dalam ayat lain Q.S An-Nisa: 29
Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4
Artinya:
“janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.”
2.      Rukun Jual beli
a.       Penjual dan pembeli, syarat nya adalah:
1)      Berakal, agar dia tidak terkecoh. Orang yang gila atau bodoh tidak sah jual belinya.
2)      Dengan kehendak sendiri (bukan terpaksa).
3)      Tidak mubazir (pemboros).
4)      Balig (berumur 15 tahun ke atas/dewasa). Anak kecil tidak sah jual belinya.
b.      Uang dan benda yang dibeli, syaratnya adalah:
1)      Suci, barang najis tidak sah dijual dan tidak boleh dijadikan uang untuk dibelikan.
2)      Ada manfaatnya, tidak boleh menjual sesuatu yang tidak ada manfaatnya.
3)      Barang itu dapat diserahkan, tidak sah menjual suatu barang yang tidak dapat diserahkan kepada yang membeli.
4)      Barang tersebut merupakan kepunyaan si penjual, kepunyaan yang diwakilinya, atau yang mengusahakan.
5)      Barang tersebut diketahui oleh si penjual dan si pembeli, zat, bentuk, kadar (ukuran) dan sifat-sifatnya jelas sehingga antara keduanya tidak akan terjadi kecoh-mengecoh.
c.       Lafaz ijab dan Kabul
Ijab adalah perkataan penjual, umpamanya “saya jual barang ini sekian.” Kabul adalah ucapan si pembeli “saya terima (saya beli) dengan harga sekian.”[1]


B.     Riba
Riba secara bahasa berarti lebih (bertambah). Allah swt berfirman Q.S Al-Hajj: 5
!#sŒÎ*sù $uZø9tRr& $ygøŠn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨tI÷d$# ôMt/uur
Artinya:
“kemudian apabila telah Kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan meninggi.
Demikianlah arti bertambah, karena keadaan naik dan meninggi menunjukkan adanya pertambahan pada bumi. Allah swt juga berfirman Q.S An-Nahl: 92
br& šcqä3s? îp¨Bé& }Ïd 4n1ör& ô`ÏB >p¨Bé&
Artinya:
“adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain.”
Sedangkan pengertian riba dalam istilah fuqaha (para ahli fiqh) adalah penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas tambahan tadi. Riba dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1.      Riba al-nasiah, yaitu penambahan yang dilakukan karena menangguhkan pembayaran.
2.      Riba al-fadhl, yaitu penambahan bukan karena penangguhan sehingga penambahan tadi sama sekali tidak diperhitungkan.
Tidak ada perbedaan pendapat diantara para imam tentang haramnya riba al-nasiah, juga bahwa itu termasuk dosa besar tanpa ada yang menyangkal, ketentuan ini ditetapkan dengan Al-Qur’an, Allah swt berfirman Q.S Al-Baqarah: 275-276
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$# 4 `yJsù ¼çnuä!%y` ×psàÏãöqtB `ÏiB ¾ÏmÎn/§ 4ygtFR$$sù ¼ã&s#sù $tB y#n=y ÿ¼çnãøBr&ur n<Î) «!$# ( ïÆtBur yŠ$tã y7Í´¯»s9'ré'sù Ü=»ysô¹r& Í$¨Z9$# ( öNèd $pkŽÏù šcrà$Î#»yz ÇËÐÎÈ   ß,ysôJtƒ ª!$# (#4qt/Ìh9$# Î/öãƒur ÏM»s%y¢Á9$# 3 ª!$#ur Ÿw =Åsム¨@ä. A$¤ÿx. ?LìÏOr& ÇËÐÏÈ  
Artinya:
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. orang yang kembali (mengambil riba), Maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. dan Allah tidak menyukai Setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.”
Inilah ketentuan kitab Allah yang mengaharmkan riba dengan keras dan melarangnya dengan nada yang dapat menggetarkan orang-orang yang beriman pada Tuhannya dan takut akan siksa-Nya. Larangan apakah yang lebih keras dari (peringatan) Allah bahwa para pelaku riba itu berarti keluar untuk memerangi Allah dan rasul-Nya. Lalu bagaimana keadaan manusia yang lemah bila memerangi Tuhan yang Maha Kuasa lagi Perkasa yang tidak terkalahkan oleh siapapun di langit maupun di bumi? Tidak ragu lagi berarti ia menyerahkan diri untuk binasa dan merugi.[2]

C.     Saksi Dalam Jual-beli
Keberadaan saksi dalam jual beli bukanlah sebagai rukun maupun syarat dalam jual beli (muamalah), tapi hanya sebagai sadduzzar’i (tindakan antisipasi/pencegahan) akan adanya penipuan/ghurur, zalim, khianat diantara kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
Contohnya seperti seorang yang menjual tanahnya kepada si pembeli, dan telah terjadi kesepakatan antar keduanya, lalu dimintalah saksi ada terlibat di dalam muamalah tersebut agar dikemudian hari hal-hal yang dikhawatirkan seperti yang telah disebutkan tadi bisa dipertanggung jawabkan oleh kedua belah pihak. Jika salah satu di suatu ketika dari penjual maupun si pembeli ada yang menggugat bahwa ia tidak membeli maupun menjual tanah tersebut, di sinilah saksi berperan sebagai bukti atau dalil akan kejadian transaksi yang sebenarnya di saat akad itu dilakukan.

D.    Penimbunan Barang
Sekalipun Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang dalam menjual, membeli, dan yang menjadi keinginan hatinya, Islam menentang keras sifat ananiyah (egois) yang mendorong sementara orang dan ketamakan pribadi untuk menumpuk kekayaan atas biaya orang lain dan memperkaya pribadi kendati bahan baku yang menjadi kebutuhan rakyat. Untuk itu Rasulullah saw melarang menimbun dengan ungkapan sangat keras. Sabda Rasulullah:
مَنِ احْتَكَرَ الطَّعَامَ اَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً فَقَدْ بَرِئَ اللهُ مِنْهُ (أحمد الحاكم وابن شبية والبزار)
Artinya:
“siapa menimbun bahan makanan selama empat puluh malam, maka sungguh Allah tidak lagi perlu kepadanya.”
Ini semua bisa terjadi karena seorang pedagang bisa mengambil keuntungan dengan dua macam jalan, seperti berikut:
1.      Keuntungan diperoleh dengan jalan menimbun barang untuk dijual dengan harga yang lebih tinggi, pada saat orang-orang sedang mencari dan tidak mendapatkannya. Kemudian, datanglah orang yang sangat membutuhkan dan dia sanggup membayar berapa saja yang diminta kendati sangat tinggi dan melewati batas.
2.      Keuntungan diperoleh dengan jalan memperdagangkan sesuatu barang kemudian dijualnya dengan keuntungan yang sedikit. Kemudian ia membawa dagangan lain dalam waktu dekat dan ia memperoleh keuntungan pula. Kemudian, dia berdagang lainnya pula dan memperoleh untung lagi. Begitulah seterusnya.
Mencari keuntungan dengan jalan kedua ini lebih dapat  membawa kemaslahatan dan lebih banyak mendapat berkah serta pemiliknya sendiri Insya Allah akan memperoleh rezeki.
Diantara hadis-hadis penting yang berkenaan dengan masalah penimbunan dan permainan harga ini ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ma’qil bin Yasar salah seorang sahabat Nabi. Ketika sedang menderita sakit keras, dia didatangi oleh Abdullah bin Ziad salah seorang gubernur dinasti Umayah untuk menjenguknya. Waktu itu Abdullah bertanya kepada Ma’qil, Hai Ma’qil apakah kamu menduga bahwa aku in seorang yang memeras darah haram? Ia menjawab, Tidak. Ia bertanya lagi, Apakah kamu pernah melihat aku ikut campur dalam masalah harga orang-orang Islam? Ia menjawab, Saya tidak pernah melihat. Kemudian, Ma’qil berkata, Dudukkan aku! Mereka pun mendudukkannya, lantas ia berkata, Dengarkanlah hai Abdullah! Saya akan menceritakan kepadamu tentang sesuatu yang pernah saya dengar dari Rasulullah saw bukan sekali dua kali. Saya mendengar Rasulullah saw bersabda sebagai berikut:
مَنْ دَخَلَ فِي شَيْئٍ مِنْ أَسْعَارِاْلمُسْلِمَيْنِ لِيُغْلِيَهُ عَلَيْهِمْ كَانَ حَقًّا عَلَى اللهِ تَبَارَكَ وَتَعَالَى أَنْ يُقْعِدَهُ بِعَظْمٍ مِنَ النَّارِ يَوْمَ اْلقِيَامَةِ قَالَ: اَنْتَ سَمِعْتَ مِنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم؟ قَالَ: غَيْرَ مَرَّةٍ وَلَا مَرَّتَيْنِ (أحمد والطبرانى)
Artinya:
“Siapa ikut campur tentang harga bagi orang Islam supaya menaikkannya sehingga mereka keberatan, maka menjadi ketentuan Allah untuk mendudukkan ia pada api yang sangat besar nanti pada hari kiamat. Kemudian Abdullah bertanya: Engkau benar-benar mendengar hal itu dari Rasulullah saw? Ma’qil menjawab: Bukan sekali dua kali.”
Dari nas hadis tersebut dan mafhumnya, para ulama menetapkan suatu hukum bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1.      Dilakukan di suatu Negara tempat penduduk Negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2.      Dengan maksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa payah supaya dia memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.[3]

E.     Jual-Beli Saham (Modal)
1.      Pengertian
Menurut Bahasa Arab Mudharabah artinya memotong. Menurut syar’i adalah seorang pemilik modal mewakilkan hartanya kepada orang lain untuk dikelolanya dan diperdagangkan, sedangkan hasil keuntungannya dibagi di antara mereka berdua.
Syariat Islam memberikan syarat dalam mu’amalah yang dinamakan oleh ahli-ahli fiqih mudharabah (kongsi) atau qiradh (memberikan modalnya kepada orang lain) yaitu kedua bealh pihak bersekutu dalam keuntungan dan kerugian. Persentasi keuntungan dan kerugian ini menurut persetujuan bersama. Keduanyan boleh menentukan untuk salah satu pihak mendapatkan ½, ¼, atau kurang dari itu atau lebih sedangkan sisanya untuk yang lain.
Sesungguhnya Islam tidak menghalang-halangi kerja sama modal (saham) dan pengetahuan atau antara uang dan pekerjaan, sebagaimana dibenarkan oleh fiqih islam. Tetapi, kerja sma ini harus dilandasi dengan suatu perencanaan yang baik. Kalau pemilik uang (modal) telah merelakan uangnya itu untuk syirkah (kerjasama muamalah dengan orang lain), maka ia harus berani menanggung segala resiko karena syirkahnya itu.
Islam membenarkan para pemilik modal untuk mengadakan syirkah dalam usaha apakah berupa perusahaan, perdagangan, dan sebagainya. Diantara pekerjaan-pekerjaan dan proyek-proyek ad yang sangat membutuhkan banyak fikiran, tenaga, dan modal. Seseorang itu dinilai kecil apabila sendirian, tetapi dinilai banyak kalau bersama yang lain. Untuk ini Allah SWT berfirman:
(#qçRur$yès?ur n?tã ÎhŽÉ9ø9$# 3uqø)­G9$#ur (
Artinya:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (al-Maidah:3)
Semua perbuatan dan sikap hidup yang menguntungkan seseorang atau masyarakat atau yang kiranya dapat melindungi masyarakat atau seseorang dari marabahaya dianggap sebagai perbuatan baik dan taqwa kalau disertai dengan niat yang baik.
Dalam hal ini, Rasulullah SAW pernah bersabda:
يدُ اللهِ على الشرِكينِ ما لم يَخُنْ أحدُهما صاحبَه فإذا خانَ أحدُهما صاحبَه رفعَها عنْهما. (الدار قطنى)
Artinya:
“Kuasa Allah bersama dengan orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak berkhianat kepada orang lain, apabila salah satu pihak ada yang mengkhianati kawannya maka kekuasaan-Nya itu akan ditarik dari keduanya.” (Riwayat Daruquthni).[4]
Islam tidak hanya sekedar membenarkan syirkah ini, bahkan memberkati pekerjaan tersebut dengan suatu pertolongan dari Allah di dunia ini dan pahala kelak di akhirat selama dalam memutarkan roda pekerjaan ini mengikuti jalan yang dihalakan oleh Allah, tidak dengan riba, ghurur, zalim, dan khianat dengan segala macamnya.
2.      Rukun-rukun Mudahrabah (Investasi/Menanam Modal)
Rukun-rukun yang harus ada dalam akad mudharabah yaitu:
a.       Malik, yaitu pemilik modal.
b.      ‘Amil, yaitu pengelola modal.
c.       Modal, atau harta yang akan diinvestasikan.
d.      Pekerjaan, atau bentuk investasinya.
e.       Laba, atau keuntungan dari investasinya.
f.        Shigath, akad ijab qabul/serah terima.[5]










BAB III
PENUTUP
A.     Simpulan
Jual beli adalah menukar suatu barang dengan barang yang lain dengan cara yang tertentu (akad).
Rukun Jual-beli:
1.      Penjual dan pembeli
2.      Uang dan benda yang dibeli
3.      Lafaz Ijab dan Kabul
Pengertian Riba dalam istilah fuqaha (para ahli fiqh) adalah penambahan pada salah satu dari dua barang sejenis yang dipertukarkan tanpa ada ganti atas tambahan tadi.
Keberadaan saksi dalam jual beli bukanlah sebagai rukun maupun syarat dalam jual beli (muamalah), tapi hanya sebagai sadduzzar’i (tindakan antisipasi/pencegahan) akan adanya penipuan/ghurur, zalim, khianat diantara kedua belah pihak (penjual dan pembeli).
Para ulama menetapkan suatu hukum bahwa diharamkannya menimbun adalah dengan dua syarat:
1.      Dilakukan di suatu Negara tempat penduduk Negara itu akan menderita sebab adanya penimbunan.
2.      Dengan maksud untuk menaikkan harga sehingga orang-orang merasa payah supaya dia memperoleh keuntungan yang berlipat ganda.
Menurut Bahasa Arab Mudharabah artinya memotong. Menurut syar’i adalah seorang pemilik modal mewakilkan hartanya kepada orang lain untuk dikelolanya dan diperdagangkan, sedangkan hasil keuntungannya dibagi di antara mereka berdua.












DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, Darul Ulum Press, 2001.
Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012.
Segaf Hasan Baharun, Fiqih Muamalah (Kajian Fiqih Muamalah Dalam Mazhab Imam Syafi’i R.A), Pasuruan: Ma’had Darullughah Wadda’wah, 2012.
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2007.


[1] Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2012), h. 279-281
[2] Abdurrahman Al Jaziri, Fiqh Empat Mazhab, (Darul Ulum Press, 2001), h. 149-152
[3] Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, 2007), h. 356-358
[4] Ibid,. h. 375-378
[5] Segaf Hasan Baharun, Fiqih Muamalah (Kajian Fiqih Muamalah Dalam Mazhab Imam Syafi’i R.A), (Pasuruan: Ma’had Darullughah Wadda’wah, 2012), h. 265

Tidak ada komentar:

Posting Komentar