BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Segala yang telah diciptakan oleh sang
pencipta (Allah) memiliki pasangannya masing-masing, begitupun juga dengan
manusia. Manusia telah ditakdirkan untuk hidup saling berpasang-pasangan antara
laki-laki dan perempuan yang disatukan dalam satu ikatan yang disebut dengan
pernikahan. Dalam hubungan pernikahan keinginan terbesar oleh sepasang
suami-istri adalah mempunyai keturunan (anak). Sebagaimana diketahui bahwa anak
bagi orang tua merupakan harta yang sangat berharga. Karena anak dapat
diibaratkan sebagai penenang, penyemangat, pelengkap hidup dan dapat menggantikan
orang tuanya sebagai pencari nafkah bagi keluarganya ketika dewasa kelak. Oleh
karena itu bagi pasangan yang belum dikaruniai anak akan berupaya untuk dapat
mempunyai keturunan (anak).
Pasangan
suami-istri yang sudah bertahun-tahun menikah tetapi belum dapat dikaruniai
anak. Mereka pun gelisah, usia sudah semakin tua tetapi belum mempunyai anak.
Ajaran syariat Islam mengajarkan kita untuk tidak boleh berputus asa dan
menganjurkan untuk senantiasa berikhtiar (usaha) serta bertawakkal dalam
menggapai karunia Allah SWT. Allah telah menjanjikan setiap kesulitan ada
solusi. Termasuk kesulitan dalam mempunyai keturunan (anak).
Pada
dasarnya pembuahan yang alami terjadi dalam rahim melalui cara yang alami pula
(hubungan seksual), sesuai dengan fitrah yang telah ditetapkan Allah untuk
manusia. Akan tetapi pembuahan alami ini terkadang sulit terwujud, misalnya
karena rusaknya atau tertutupnya saluran indung telur yang membawa sel telur ke
rahim, serta tidak dapat diatasi dengan cara membukanya atau mengobatinya. Atau
karena sel sperma suami lemah atau tidak mampu menjangkau rahim isteri untuk
bertemu dengan sel telur, serta tidak dapat diatasi dengan cara memperkuat sel
sperma tersebut, atau mengupayakan sampainya sel sperma ke rahim isteri agar
bertemu dengan sel telur di sana. Semua ini akan meniadakan kelahiran dan
menghambat suami isteri untuk mempunyai anak. Padahal Islam telah menganjurkan
dan mendorong hal tersebut dan kaum muslimin pun telah disunnahkan melakukannya.
Namun
dengan teknologi Sekarang ini sudah muncul berbagai kecanggihan yang dapat di
gunakan untuk mengatasi kendala-kendala kehidupan terkhusus pada kesulitan
mempunyai anak dengan berbagai faktor penyebab, baik penyebab yang telah
dipaparkan sebelumnya ataupun yang dipengaruhi oleh faktor usia ataupun
faktor-faktor penyebab lainnya. Dengan kemajuan teknologi yang telah diciptakan
oleh manusia itu sendiri pada bidang kedokteran dan ilmu biologi modern yang
telah berhasil menciptakan teknologi yang disebut bayi tabung/inseminasi
buatan. Dengan cara inseminasi butan inilah pasangan yang telah menikah
bertahun-tahun dapat menggunakan inseminasi sebagai solusi untuk mendapatkan
keturunan (anak).
Pada
dasarnya orang-orang memuji pada bidang teknologi tersebut. Namun, mereka belum
tahu pasti apakah produk-produk teknologi yang dipergunakan tersebut dapat
dibenarkan menurut pandangan islam. Oleh karena hal tersebut diatas, untuk
mengetahui lebih banyak mengenai bayi tabung/inseminasi menurut pandangan islam.
Maka akan disajikan pembahasan bayi tabung tersebut dalam bentuk karya tulis
ilmiah ini.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam
karya ilmiah ini adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Inseminasi dan Bayi Tabung?
2.
Apa
hukum dari Inseminasi dan Bayi Tabung?
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui Apa yang dimaksud dengan Inseminasi
dan Bayi Tabung.
2.
Mengetahui Apa hukum dari Inseminasi dan Bayi
Tabung.
D.
Metode Penulisan
Dalam penulisan
karya Ilmiah yang sangat sederhana ini, kami mengambil dari berbagai
literatur-literatur yang ada di
perpustakaan. Dan kami juga mengambil sedikit banyaknya dari berbagai
situs-situs internet yang berkaiatan dengan pembahasan kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Kata inseminasi
berasal dari bahasa Inggris “insemination” yang artinya pembuahan atau
penghamilan secara teknologi, bukan secara alamiah. Kata inseminasi itu sendiri
dimaksudkan oleh dokter arab dengan istilah اَلتَّلْقِيْحُ dari fiil (kata kerja) لَقَّحَ - يُلَقِّحُ menjadi تَلْقِيْحاًyang
berarti mengawinkan atau mempertemukan (memadukan). Kita mengenal dua macam
inseminasi; yaitu inseminasi alamiah atau Natural Insemination yaitu
pembuahan dengan cara hubungan badan antara dua jenis makhluk biologis. Dan
inseminasi buatan atau Artifical Insemination.
Kata talqih
yang sama pengertiannya dengan inseminasi, diambil dari dokter ahli kandungan
bangsa arab, dalam upaya pembuahan terhadap wanita yang menginginkan kehamilan.
Padahal sebenarnya, istilah itu berasal dari petani kurma yang pekerjaannya
menaburkan serbuk bunga jantan terhadap bunga betina, agar pohon kurmanya dapat
berbuah.
Sedangkan
pengertian bayi tabung disebutnya sebagai istilah: اْلأَنَابِيْبِ طِفْلُ yang artinya jabang bayi; yaitu sel telur yang telah
dibuahi oleh sperma yang telah dibiakkan dalam tempat pembiakan (cawan) yang
sudah siap untuk diletakkan ke dalam rahim seorang ibu.
B. Pencangkokan
Sperma (Bayi Tabung)
Kalau islam telah melindungi keturunan, yaitu dengan mengharamkan zina
dan pengangkatan anak, sehingga dengan demikian situasi keluarga selalu bersih
dari anasir-anasir asing maka untuk itu islam juga mengharamkan apa yang
disebut pencangkokan sperma (bayi tabung), apabila ternyata pencangkokan itu
bukan sperma suami. Bahkan, situasi demikian, seperti kata Syekh Syaltut, suatu
perbuatan zina dalam satu waktu sebab intinya adalah satu dan hasilnya satu
juga, yaitu meletakkan air laki-laki lain dengan suatu kesengajaan pada ladang
yang tidak ada ikatan perkawinan secara syara’ yang dilindungi hukum naluri dan
syari’at agama. Andaikata tidak ada pembatasan-pembatasan dalam masalah bentuk
pelanggaran hukum niscaya pencangkokan ini dapat dihukumi berzina yang oleh
syari’at Allah telah diberinya pembatasan dan kitab-kitab agama akan menurunkan
ayat tentang itu.
Apabila pencangkokan yang dilakukan itu bukan air suami, tidak diragukan
lagi adalah suatu kejahatan yang sangat buruk dan suatu perbuatan mungkar yang
lebih hebat daripada pengangkatan anak, yaitu memasukkan unsur asing kedalam
nasab, dan antara perbuatan jahat yang lain berupa perbuatan zina dalam suatu
waktu yang ditentang oleh syara’, undang-undang dan kemanusiaan yang tinggi,
dan akan meluncur ke derajat binatang yang tidak berperikemanusiaan dengan
adanya ikatan kemasyarakatan yang mulia.[1]
C. Teknik
Pembuatannya
Untuk melakukan inseminasi buatan (al-talqih al-sina’iyah); yaitu
sepasang suami isteri yang menginginkan kehamilan, diharapkan selalu
berkonsultasi dengan dokter ahli dengan memeriksakan dirinya, apakah keduanya
bisa membuahi atau dibuahi, untuk mendapatkan keturunan atau tidak.
Banyak orang yang sebenarnya memiliki sperma atau ovum yang cukup subur,
tetapi justru tidak dapat membuahi atau dibuahi, karena ada kelainan pada alat
kelaminnya (alat produksinya). Misalnya seorang wanita yang tersumbat saluran
sel-sel telurnya, dan proses ovulasinya tidak normal atau gerakan sperma
laki-laki tidak dapat menjangkau (mati sebelum bertemu dengan ovum wanita),
maka tidak akan terjadi pertemuan (percampuran) antara dua macam sel ketika
melakukan coitus (senggama).
Kalau terjadi kasus seperti tersebut diatas, maka dokter ahli dapat
mengupayakannya dengan mengambil sel telur (ovum) wanita, dengan cara fungsi
aspirasi cairan folikel melalui vagina dengan menggunakan sebuah alat yang
disebut “trasvaginal transkuler ultra sound” yang bentuknya pipih
memanjang, sebesar dua jari telunjuk orang dewasa.
Pemaduan kedua sel tersebut, lalu disimpan dalam cawan pembiakkan selama
beberapa hari. Inilah yang disebut dengan bayi tabung; yaitu jabang bayi yang
akan diletakkan ke dalam rahim seorang ibu dengan cara menggunakan alat semacam
suntikan.
Sebagai tambahan informasi, bahwa di Negara muslim masih sering
dilakukan dua macam inseminasi, yaitu:
1. Inseminasi Heterolog, yaitu disebut juga “artificial
insemination donor (AID)”, yaitu inseminasi buatan yang selnya bukan
berasal dari air mani suami isteri yang sah.
2. Inseminasi Homolog, yaitu disebut juga “artificial
insemination husband (AIH)”, yaitu inseminasi buatan yang berasal
dari sel mani suami isteri yang sah.
Sejak bayi tabung itu dimasukkan ke dalam rahim seorang ibu, sejak itu
pula berlaku larangan dokter yang harus dipatuhi oleh ibu, antara lain:
1. Tidak bekerja keras, atau terlalu capek.
2. Tidak makan atau minum sesuatu yang
mengandung unsur alkohol.
3. Tidak boleh melakukan senggama selama 15
hari atau 3 minggu sejak bayi tabung itu diletakkan ke dalam rahim.
Sejak itu dinyatakan hamil, perkembangan janin dalam rahimnya dapat
dipantau oleh dokternya atau bidan yang menanganinya, melalui sebuah alat yang
disebut “ultra sound” sehingga letak dan gerak janin itu dapat dilihat
dengan jelas melalui alat canggih itu hingga ia lahir.
D. Hukumnya
Upaya inseminasi dan bayi tabung, dibolehkan dalam islam, manakala
perpaduan sperma dengan ovum itu bersumber dari suami isteri yang sah
(Inseminasi Homolog), yang disebut juga dengan artificial insemination
husband (AIH). Dan yang dilarang adalah inseminasi buatan bayi tabung yang
berasal dari perpaduan sperma dan ovum dari orang lain (Inseminasi Heterolog),
yang disebut juga dengan artificial insemination donor (AID).
Inseminasi Homolog dan bayi tabung tidak melanggar ketentuan agama,
kecuali hanya menempuh jalan keluar untuk memenuhi kebutuhan memperoleh
keturunan. Tanpa dengan melalui prosedur senggama, karena tidak dapat membuahi
dan dibuahi. Karena itu, kebolehannya ada karena faktor darurat yang diberi
dispensasi oleh agama, sebagaimana hadis yang mengatakan:
Artinya:
Tidak boleh mempersulit diri dan menyulitkan orang lain. H.R Ibnu Majah, yang bersumber dari Abi
Said al-Hudriyyi.
Qoidah Fiqhiyah juga mengatakan:
Artinya:
Kesulitan (yang dialami) dapat
dihindarkan (dalam agama).
Untuk mencegah agar suami-isteri tidak lagi mengalami kesulitan akibat
tidak hamil dengan dengan cara senggama, maka perlu ditolong oleh dokter ahli,
dengan cara inseminasi buatan dan bayi tabung, yang diambil dari zat sperma
dengan ovum suami-isteri yang sah. Dan sebaliknya, bila bersumber dari orang
lain, maka dikatagorikan perbuatan zina, dan dapat menyulitkan persoalan hukum
sesudahnya, misalnya:
1. Mengacaukan hukum islam untuk menentukan
siapa wali putri yang lahir dari proses tersebut, karena nasabnya sudah kabur.
2. Menyulitkan hukum islam untuk menentukan
hak-haknya dalam urusan perwarisan dan sebagainya.
Islam selalu mendorong manusia yang mempunyai keahlian untuk melakukan
riset terhadap obyek alam semesta, untuk membuka tabir rahasia Allah. Orang
islam harus selalu mencari argumentasi ilmiah, mengenai kejadian manusia tanpa
melalui seks, misalnya kejadian Adam, kejadian Hawa dari tulang rusuk Adam, dan
kejadian Isa dari Ibu Maryam. Ada kemungkinan Allah melakukan proses dengan
perintah kepada malaikatnya dengan cara seperti tegnologi kloning, misalnya
mengambil sel telur tunggal air susu Ibu Maryam, lalu diproses menjadi jabang
bayi, kemudian diletakkan kedalam rahim Ibu Maryam, padahal ia tidak memiliki
suami ini bisa dibuktikan dengan melalui riset kloning manusia, tetapi tidak
untuk selama-lamanya, hanya sekedar untuk pembuktian kebenaran riset tentang
kejadian manusia tanpa melalui hubungan seks.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Inseminasi
buatan dengan sel sperma dan ovum dari suami istri sendiri dan tidak ditransfer
embrionya kedalam rahim wanita lain (ibu titipan) diperbolehkan oleh islam, jika
keadaan kondisi suami istri yang bersangkutan benar-benar memerlukan. Dan status
anak hasil inseminasi macam ini sah menurut Islam.
Inseminasi
buatan dengan sperma dan ovum donor diharamkan oleh Islam. Hukumnya sama dengan
zina dan anak yang lahir dari hasil inseminasi macam ini statusnya sama dengan
anak yang lahir diluar perkawinan yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
http://auhafiqah.blogspot.com/2013/05/pandangan-islam-terhadap-bayi.html
Mahjuddin, Drs. H. M.pd.I. Masailul
Fiqhiyah, Jakarta. Kalam Mulia. 2003.
Qardhawi,
Syekh Muhammad Yusuf. Halal & Haram Dalam Islam. Bina Offset. 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar