Assalamualaikum...

Assalamualaikum...

Selasa, 24 Desember 2013

Teori Belajar Behavioristik, Connecsionisme, Classical Conditioning, Operant Conditioning



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Belajar selalu didefinisikan sebagai suatu perubahan pada diri individu yang disebabkan oleh pengalaman. Sejak manusia dilahirkan, telah begitu banyak mengalami proses belajar. Belajar dan perkembangan adalah hal yang tidak dapat dipisahkan, tetapi belajar juga dapat karena adanya pengalaman dan aktivitas lain. Seperti halnya aktivitas / kegiatan belajar yang dilakukan antara guru dan siswa di sekolah. Dalam kegiatan belajar ini, semua guru harus mempunyai pandangan / teori belajar sehingga strategi mengajar mereka menjadi terstruktur.
Dari teori belajar tersebut, memiliki karakteristik yang berbeda-beda sehinga dalam aplikasinya juga memiliki perbedaan. Bagi guru, tidaklah harus terpaku pada satu teori saja karena pada hakikatnya dari semua teori belajar tersebut tidak ada satupun teori belajar yang sempurna.

B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini adalah:
1.      Bagaimana teori belajar Behavioristik?
2.      Bagaimana teori belajar Connecsionisme?
3.      Bagaimana teori belajar Classical Contioning dan Operant Contioning?



C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui Bagaimana teori belajar menurut Behavioristik.
2.      Mengetahui Bagaimana teori belajar menurut Connecsionisme.
3.      Mengetahui Bagaimana teori belajar menurut Classical Contioning dan Operant Contioning.

D.    Metode Penulisan
Dalam penulisan karya Ilmiah yang sangat sederhana ini, kami mengambil dari berbagai literatur-literatur  yang ada di perpustakaan. Dan kami juga mengambil sedikit banyaknya dari berbagai situs-situs internet yang berkaiatan dengan pembahasan kami.













BAB II
PEMBAHASAN
A.      Teori Belajar Behavioristik
Teori Behavioristik adalah teori beraliran Behaviorisme yang merupakan salah satu aliran psikologi. Teori belajar Behavioristik ini dikenal dengan sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.[1]
Menurut teori Behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari adanya interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain belajar merupakan bentuk perubahan yang dialami siswa dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru sebagai hasil interaksi antara stimulus dan respon.
Teori belajar behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika ia dapat menunjukkan perubahan tingkah lakunya. Misalnya; siswa belum dapat dikatakan berhasil dalam belajar Ilmu Pengetahuan Sosial jika dia belum bisa/tidak mau melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti; kerja bakti, ronda dll.[2]
Menurut teori ini yang terpenting adalah :
           1.       Masukan atau input yang berupa stimulus dan keluaran atau output yang berupa respons.
           2.       Penguatan (reinforcement).
           3.       Mementingkan faktor lingkungan.
           4.       Menekankan pada faktor bagian.
           5.       Menekankan pada tingkah laku yang nampak dengan mempergunakan metode obyektif.
           6.       Sifatnya mekanis.
           7.       Mementingkan masa lalu.[3]
Adapun Prinsip-prinsip teori behaviorisme:
1.      Obyek psikologi adalah tingkah laku.
2.      semua bentuk tingkah laku di kembalikan pada reflek.
3.      mementingkan pembentukan kebiasaan.

B.  Teori Belajar Conecsionisme (Thordike)
Teori belajar Conecsionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949) berdasarkan yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thordike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing untuk mengetahui fenomena.[4]
Thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learnin”. Selain itu, teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Ciri-ciri teori belajar Conecsionisme adalah dengan trial and error.[5]
Eksperimen-eksperimen Thordike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi (human). Thordike yakin bertentangan dengan kepercayaan umum bahwa tingkah laku hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Respons-respons itu dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan, dia yakin bahwa masalah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbuatan, tanpa diantarai oleh pengertian.
Perbandian yang dibuatnya mengenai kurve belajar pada hewan dan pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar pada hewan, maupun belajar pada manusia itu berlangsung menurut tinga macam hukum yaitu:
           1.       Law Of Readiness
           2.       Law Of Exercise
           3.       Low of effect
Ketiga hukum diatas adalah hukum-hukum pokok atau hukum-hukum primer pada teori belajar conecsionisme. Dari ketiga hukum pokok Thordike juga mengemukakan pula lima macam hukum-hukum subsider atau hukum-hukum minor (subsidiary laws, minor laws) yaitu:
           1.       Law Of Multipe Response
           2.       Law Of Attitude (Law Of set, Law Of Disposition)
           3.       Law Of Activity (Law Of Prepotency element)
           4.       Law Of Response by Analogy (Law Of Assimilition)
           5.       Law Of Associative Shiting.[6]
Menurut Thorndike, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan.[7]


C.      Teori Belajar Classical Conditioning (Pavlop)
Teori Belajar Classical Conditioning adalah model pembelajaran yang menggunakan stimulus untuk membangkitkan rangsangan secara alamiah melalui stimulus lain. Adapun penelitiannya yang khas dalam teori belajar Classical Conditioning adalah anjing dioperasiakan kelenjar ludahnya sedemikian rupa sehingga memungkinkan si peneliti untuk mengukur dengan teliti air liur yang keluar sebagai respons (reaksi) apabila ada perangsang makanan ke mulutnya.
Setelah percobaan diulang berkali-kali, maka ternyata air liur telah keluar sebelum makanan sampai kemulutnya, yaitu:
           1.       Pada waktu melihat piring makanannya
           2.       Pada waktu melihat orang yang biasa memberikan makanan
           3.       Pada waktu mendengar langkah orang yang biasa memberikan makanan itu.[8]
Pada dasarnya Teori belajar Classical Conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks baru. Dari hasil percobaan dengan anjing Pavlop menghasilkan dua hukum belajar yaitu:
1.    Low of Respondent Conditioning yaitu hukum pembiasaan yang dituntut. Jika dua macam stimulus di hadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer), maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
2.    Low of Respondent Extinction yaitu hukum pemusnahan yang dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui respondent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforce, maka kekuatannya akan menurun.


D.      Teori Belajar Operant Conditioning (Skinner)
Teori belajar Operant Conditioning adalah teori yang dikembangkan oleh B.F pada tahun 1911. Skinner yang memandang hadiah (reward) dan reinforcement (penguatan) sebagai unsur  yang paling penting dalam proses belajar. Skinner lebih memilih istilah reinforment dari pada reward karena reward diinterpretasikan sebagai tingkah laku subjektif yang dihubungkan dengan kesenangan, sedangkan reinforment adalah istilah yang netral. Operant adalah sejumlah prilaku yang membawa efek yang sama terhadap lingkungan.[9]
Skinner menyatakan bahwa Conditioning yang memperkuat hubungan stimulus respon yang menjadi pembentuk tingkah laku itu adalah sesuatu yang “operant” atau “reinforment” yaitu suatu stimulus yang dapat memberikan penguatan, berupa “hadiah” sebagai penguatan positif dan “hukuman” sebagai penguatan negative. Dengan “Operant Conditioning” yang berupa hadiah atau hukuman itulah siswa terangsang sikapnya mau belajar dengan tekun. Operant Conditioning menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
1.    Law Of Operant Conditioning yaitu jika timbulnya prilaku diiringi dengan stimulus penguat, maka kekuatan prilaku tersebut akan meningkat.
2.    Law Of Operant Extinction yaitu jika timbulnya prilaku operant telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi stimulus penguat, maka kekuatan prilaku tersebut akan menurun bahkan musnah.[10]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Teori belajar Behavioristik menjelaskan belajar itu adalah perubahan perilaku yang dapat diamati, diukur dan dinilai secara konkret. Perubahan terjadi melalui rangsangan (stimulans) yang menimbulkan hubungan perilaku reaktif (respon) berdasarkan hukum-hukum mekanistik.
Teori belajar Connecsionisme thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respon. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psychology of Learnin”. Selain itu, teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”.
Dan Teori belajar Classical Conditioning Teori ini dikembangkan oleh Ivan Pavlov melalui percobaan dengan anjing yang diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat pada anjing.
Sedangkan Teori belajar Operant Conditioning memandang hadiah (reward) dan reinforcement (penguatan) sebagai unsur  yang paling penting dalam proses belajar.







DAFTAR PUSTAKA

Asri, Budiningsih C, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2005.
Yatim, Riyanto, Paradigma Baru Pembelajaran, Jakarta: Pranada Media Group, 2009.
Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, Bandung: PT. RajaGrafindo Persada, 2010.
Suryabrata, DD. Sumandi, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
Rumini, Sri, Psikologi pendidikan, Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP), 1993.
Hardy, Malcolm & Steve heyes, Pengantar psikologi, Semarang: Erlangga, 1985.




[1] Gage, N.L., & Berliner,  1979, Educational Psychology, hal. 13
[2] Budiningsih, C., Asri,2005, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), hal. 20
[3] Riyanto, Yatim, 2009, Paradigma Baru Pembelajaran, (Jakarta: Pranada Media Group), hal. 6
[4] Muhibbin Syah, 2010. Psikologi Belajar, (Bandung:PT. RajaGrafindo Persada), hal. 92
[5] Muhibbin Syah, 2007. Psikologi Belajar, (Bandung:PT. RajaGrafindo Persada), hal. 35
[6] DD. Sumandi Suryabrata, 2002, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo), hal. 249-255
[7] Sri Rumini, 1993, Psikologi pendidikan, (Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP)). Hal. 69
[8] DD. Sumandi op cit, hal 261-262
[9] Malcolm hardy & Steve heyes, 1985, Pengantar psikologi, ( Semarang : Erlangga, ), hal. 42
[10] http://lisayulista.blogspot.com/2012/01/operant-conditioning.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar