BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Fiqih adalah salah satu
disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam.
Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama Islam. Secara
esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin
ilmu tersendiri. Karena semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu,
langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa
terobati, dengan bersumber pada Al-Qur’an sebagai wahyu al-matlu dan sunnah
sebagai wahyu ghoiru-matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqih ini mulai
muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan
membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istinbath. Generasi penerus Nabi
Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafaur rosyidin, namun masih
diteruskan oleh para tabi’in dan ulama hingga sampai pada zaman kita sekarang
ini.
Dalam
perkembangan fiqih, muncul banyak mazhab. Lahirnya mazhab amat penting setelah wafatnya
Rasulullah SAW dan para sahabat, karena setiap ulama mempunyai cara dan metode
tersendiri dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, ulama-ulama yang cukup ilmunya
dan berkemampuan untuk mengerti maksud al-Qur’an dan memahami hukum yang
terkandung di dalamnya, ulama seperti ini tidak banyak, mereka sangat
terbilang. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik
tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan
beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab
masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad
yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan
kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada
awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah
atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam
memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak
ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan
kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang
dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa disadari menjelma menjadi
anutan untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan
melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya
terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau
mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam
melakukan istinbath hukum. Dalam perkembangan fiqih di kenal beberapa mazhab
fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut
masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah.
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka
rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini adalah:
1. Bagaimana sejarah perkembangan fiqih?
2. Bagaimana sejarah perkembangan mazhab?
C. Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui sejarah perkembangan fiqih.
2.
Mengetahui sejarah perkembangan mazhab.
D. Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah yang sangat
sederhana ini, kami mengambil dari berbagai literatur-literatur yang ada di perpustakaan. Dan kami juga
mengambil sedikit banyaknya dari berbagai situs-situs internet yang berkaitan
dengan pembahasan kami.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Fiqih
Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama
islam, sebab agama islam itu sendiri, adalah kumpulan peraturan yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia sesamanya. Karena luasnya
aspek yang diatur oleh islam, para ahli membagi ajaran islam ke dalam beberapa bidang
seperti bidang akidah, ibadah dan muamalah,
kesemua ini di masa Rasulullah diterangkan di dalam Al-Quran sendiri yang
kemudian diperjelas lagi oleh Rasulullah di dalam sunnahnya. Hukum yang
ditetapkan dalam Al-Quran atau sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari
suatu pernyataan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan
keputusan yang dikeluarkan Rasulullah ketika memutuskan sesuatu perkara. Jadi
sumber fiqih di masa itu hanya dua ialah Al-Quran dan sunnah.
Dimasa sahabat banyak terjadi berbagai
peristiwa yang dahulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum
terhadap peristiwa yang baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam
ijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat seperti ini dinamakan “ijmak” dan kadang-kadang terjadi
perbedaan pendapat yang dinamakan “atsar”.
Para sahabat tidak akan menetapkan hukum sesuatu perbuatan terkecuali memang
sudah terjadi, dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu hasil
ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya merupakan
pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil ijtihad para
sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum
dapat dinamakan fuqaha.
Pada abad ke 2 dan ke 3 hijriah, yang dikenal
dengan masa tabi’in, tabi’in dan imam mazhab, daerah yang dikuasai oleh umat
islam makin meluas, banyak bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk islam. Karena
itu banyak timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi di masa
sebelumnya.
Karena kasus baru ini lah yang memaksa para
fuqaha berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam berijtihad mereka bukan saja
berbicara yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Jadi sumber fiqih pada masa
itu disamping Al-Quran dan sunnah ditambah lagi dengan sumber lain seperti ijmak, qiyas, istihsan, istishab, maslahatul
mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam.
Di masa ini dimulai gerakan pembukuan sunnah,
fiqih dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih di
samping mencatat pendapat juga ditambah dengan dalil pendapat baik Al-Quran
maupun Sunnah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang berkecimpung
dalam ilmu fiqih dinamakan “fuqaha”
dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan “fiqih”.
Orang yang pertama kali mengambil inisiatif
dalam bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunnah, pendapat para
sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang dinamakan “muwatha”,
yang menjadi pegangan orang hijaz. Imam Abu Yusuf menulis beberapa buah kitab
tentang fiqih yang menjadi pegangan orang Irak, Imam Muhammad bin Hasan salah
seorang murid Imam Abu Hanifah telah mengumpulkan pendapat-pendapat Imam Abu
Hanifah dalam sebuah kitab “Zhirur Riwayah” yang menjadi dasar mazhab
Hanafi, dan di Mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al-Um” yang menjadi
dasar mazhab Syafi’i.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka para
ahli fiqih dalam memberikan definisi fiqih juga berubah. Diantaranya di bawah
ini:
1. Defenisi fqih pada abad I (pada masa sahabat)
Defenisi fiqih pada masa ini ialah ilmu
pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk
mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh orang yang
mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka dapat membahas dengan
meneliti buku-buku yang besar dalam masalah fiqih. Mereka inilah yang
disebut liyatafaqqahufiddin yaitu
untuk mereka yang bertafaqquh dalam agama islam.
2. Definisi fiqh pada abad II (masa telah lahirnya madzhab madzhab)
Pada abad II ini talah lahir pemuka pemuka mujtahid yang mendirikan madzhab-madzhab
yang terbesar di kalangan umat islam. Pengertian atau definisi fiqih waktu itu
diperkecil scopnya, yaitu untuk membahas satu cabang ilmu pengetahuan dari
bidang biang ilmu agama. Maka lafaz fiqih dikhususkan untuk nama dari
hukum-hukum yang dipetik dari kitabullah dan Sunnnatur Rasul.
B. Sejarah Perkembangan Mazhab
Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu
masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian
mazhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah
atau kaidah-kaidah istinbath-nya.
Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqih ada yang masih
utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan
berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqih dapat dibagi dalam dua kelompok,
yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab
Syiah. Di kalangan umat islam ada empat madzhab yang terkenal, yaitu Mazhab Hanafi,
Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat)
mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
Pemikiran fiqih dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu
Hanifah.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas,
dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam
nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan
menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, kaidah umum (qiyas) tidak
bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas
apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih)
di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas,
istihsan, ijma. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan
sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbath-kan
hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Menurut Syed Ameer Ali, karya-karya Abu Hanifah baik
mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya (pada masa beliau masih
hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya
dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi
mazhab ahli ra’yi yang hidup dan
berkembang.
Berbagai buah pikiran Abu Hanifah yang telah dibukukan
oleh muridnya, antara lain oleh Muhammad bin Hasan al-Syaibani yang terkenal
dengan al-Kutub al-Sittah. Keenam
bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh
Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi. Kemudian pada abad ke-5 H
muncul Imam as-Sarakhsi yang men-syarah
al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah
yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Di samping itu, muridnya yang bernama Abu Yusuf yang
dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqih Mazhab Hanafi, menulis kitab al-Kharaj
yang membahas tentang hukum yang berhubungan dengan
pajak tanah.
b.
Mazhab Maliki
Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia
dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadis dan fiqih
terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqih dan ushul fiqih Imam Malik dapat dilihat
dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas anjuran khalifah Ja’far
al-Manshur. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadis, tetapi karena disusun
dengan sistematika fiqih dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqih
Imam Malik dan metode istinbath-nya, maka buku ini juga disebut oleh
ulama hadis dan fiqih belakangan sebagai kitab fiqih. Berkat buku ini, Mazhab
Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para
murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’.
Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, ijma’ ahl- al-madinah, khabar ahad & qiyas, fatwa sahabat, al-maslahah al-mursalah,
istihsan, istishab, sadd az-zar’i, dan syar’u man qablana. Pernyataan ini
dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi
(tokoh fiqih Mazhab Maliki).
Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih Mazhab Maliki tersebut dalam empat
hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’,
dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan
tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang
termasuk rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd az-zari’ah, istihsan,
dan istishab. Menurut para ahli ushul fiqih, qiyas jarang sekali
digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk
Madinah daripada qiyas.
Di antara para sahabat Imam Malik yang berjasa
mengembangkan mazhabnya antara lain: ‘Usman bin al-Hakam al-Juzami, Abd Rahman
bin Khalid, Abd Rahman bin Al-Qasim (yang dikenal sebagai murid terdekat Imam
Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun), Asyhab bin Abd Aziz dan
orang-orang yang semasa dengan mereka.
c.
Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi’i.
Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadis di zamannya
diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya
pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra’yi. Imam Syafi’i
berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar
kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin al-Hasan
al-Syaibany sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab ushul
fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip
mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang
bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam Syafi’i pertama sekali
mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada
sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak
ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’
yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para
sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama ushul fiqih, yaitu
kesepakatan seluruh mujtahid pada
masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini
tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidak juga ditemukan
hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya
sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam Syafi’i tidak
seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan
sebagai salah satu cara meng-istinbath-kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan
Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risalah
dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi’i
ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid Imam
Syafi’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i
adalah Ismail bin Yahya (yang diakui oleh Imam Syafi’i sebagai pendukung kuat
mazhabnya), al-Buwaithiy, Asyhab bin al-Qasim dan al-Rabi’ yang besar jasanya
dalam penyebarluasan kedua kitab Imam Syafi’i tersebut.
d.
Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin
Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqih dan hadis terkemuka di zamannya dan
pernah belajar fiqih Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Syafi’i.
Adapun metode Imam Hanbali dalam menetapkan hukum antara
lain adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat Nabi SAW, hadis mursal &
hadis dha’if yang didukung oleh qiyas
dan tidak bertentangan dengan ijma’. Penggunaan
qiyas hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini
dapat dilihat dalam kitab hadis al-Musnad
oleh Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi
berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf;
istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum
Islam.
Di antara ulama yang telah berjasa mengembangkan
mazhabnya adalah: al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin Haniy al-Khurasaniy, Ahmad bin
Muhammad bin al-Hajjaj al-Marwaniy, Ibn Ishaq al-Harbiy dan al-Qasim Umar bin
Abi Ali al-Husaen al-Khiraqiy. Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan
murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqih
sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan
mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah.
Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam
Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali.
Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan
penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali
menjadi mazhab resmi pemerintah Arab Saudi.
2.
Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah
Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
a.
Mazhab Syiah
Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin, seorang
mufasir, muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun
buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu’
yang menjadi rujukan utama fiqih Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang
menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun
Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqih Mesir) menyatakan bahwa pernyataan tersebut
tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di jamannya dikenal
sebagai seorang faqih yang hidup
sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid
menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh
Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani dengan judul ar-Raud
an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya
adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai
pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam
menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis
beberapa kitab fiqih. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi
al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat
imam Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar
al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda
dengan fiqh ahlusunnah. Perbedaan
yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga,
haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita
ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah
yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran
fiqih Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi.
b.
Mazhab Syiah
Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih
dekat dengan fiqih Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam
berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an,
mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut
mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah
tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam
menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan
rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka
adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum).
Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah
satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam
mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa
al-Kazim, diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh
ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih
Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj
al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku
karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma
Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan
dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini melalui kitabnya, al-Kafi
fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqih Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.
Syiah Imamiyah
menghalalkan nikah mut’ah yang
diharamkan ahlussunnah
2.
Syiah Imamiyah mewajibkan
kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlussunnah tidak perlu
3.
Syiah Imamiyah,
termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita
Ahlulkitab.
BAB III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulakan bahwa hukum islam/fiqih akan selalu berkembang dari zaman ke zaman.
Baik dari zaman Rasulullah, sahabat dan sampai sekarang. Ayat-ayat hukum pada
umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut. Di
saat Rasulullah SAW masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat
terletak pada diri beliau melalui sunnahnya. Namun setelah wafat ilmu fiqih
masih terus berkembang pada zaman sahabat, mujtahid
dan sampai sekarang. Meskipun pernah mengalami kemunduran beberapa abad yang
lalu.
Dalam perkembangan fiqih, muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori
Ismail, para ahli sejarah fiqih telah
berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para
ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah
ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada, maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa
bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih
bertahan sampai sekarang hanya tujuh
mazhab saja yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah dan
Imamiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah
ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya,
untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah
hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji
dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hasan, M. Ali. Perbandingan
Mazhab Fiqih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Karim, A. Syafi’i. Drs. Fiqh & Ushul Fiqh. Pustaka Setia, 1997.
Bandung.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Logos. 1997.
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar