Assalamualaikum...

Assalamualaikum...

Selasa, 24 Desember 2013

Sejarah Perkembangan Fiqh, Mazhab



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Fiqih adalah salah satu disiplin ilmu yang sangat penting kedudukannya dalam kehidupan umat islam. Fiqih termasuk ilmu yang muncul pada masa awal berkembang agama Islam. Secara esensial, fiqih sudah ada pada masa Nabi SAW, walaupun belum menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Karena semua persoalan keagamaan yang muncul waktu itu, langsung ditanyakan kepada Nabi SAW. Maka seketika itu solusi permasalahan bisa terobati, dengan bersumber pada Al-Qur’an sebagai wahyu al-matlu dan sunnah sebagai wahyu ghoiru-matlu. Baru sepeninggal Nabi SAW, ilmu fiqih ini mulai muncul, seiring dengan timbulnya permasalahan-permasalahan yang muncul dan membutuhkan sebuah hukum melalui jalan istinbath. Generasi penerus Nabi Muhammad SAW tidak hanya berhenti pada masa khulafaur rosyidin, namun masih diteruskan oleh para tabi’in dan ulama hingga sampai pada zaman kita sekarang ini.
Dalam perkembangan fiqih, muncul banyak mazhab. Lahirnya mazhab amat penting setelah wafatnya Rasulullah SAW dan para sahabat, karena setiap ulama mempunyai cara dan metode tersendiri dalam memahami al-Qur’an dan Sunnah, ulama-ulama yang cukup ilmunya dan berkemampuan untuk mengerti maksud al-Qur’an dan memahami hukum yang terkandung di dalamnya, ulama seperti ini tidak banyak, mereka sangat terbilang. Kelahiran mazhab-mazhab hukum dengan pola dan karakteristik tersendiri ini, tak pelak lagi menimbulkan berbagai perbedaan pendapat dan beragamnya produk hukum yang dihasilkan. Para tokoh atau imam mazhab masing-masing menawarkan kerangka metodologi, teori dan kaidah-kaidah ijtihad yang menjadi pijakan mereka dalam menetapkan hukum. Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para tokoh dan para Imam Mazhab ini, pada awalnya hanya bertujuan untuk memberikan jalan dan merupakan langkah-langkah atau upaya dalam memecahkan berbagai persoalan hukum yang dihadapi baik dalam memahami nash al-Quran dan al-Hadis maupun kasus-kasus hukum yang tidak ditemukan jawabannya dalam nash.
Metodologi, teori dan kaidah-kaidah yang dirumuskan oleh para imam mazhab tersebut terus berkembang dan diikuti oleh generasi selanjutnya dan tanpa disadari menjelma menjadi anutan untuk menggali hukum dari sumbernya. Dengan semakin mengakarnya dan melembaganya doktrin pemikiran hukum di mana antara satu dengan lainnya terdapat perbedaan yang khas, maka kemudian ia muncul sebagai aliran atau mazhab yang akhirnya menjadi pijakan oleh masing-masing pengikut mazhab dalam melakukan istinbath hukum. Dalam perkembangan fiqih di kenal beberapa mazhab fiqh. Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqh ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah.
B.     Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang menjadi pembahasan dalam karya ilmiah ini adalah:
1.      Bagaimana sejarah perkembangan fiqih?
2.      Bagaimana sejarah perkembangan mazhab?

C.    Tujuan Penulisan
1.      Mengetahui sejarah perkembangan fiqih.
2.      Mengetahui sejarah perkembangan mazhab.

D.    Metode Penulisan
Dalam penulisan karya ilmiah yang sangat sederhana ini, kami mengambil dari berbagai literatur-literatur  yang ada di perpustakaan. Dan kami juga mengambil sedikit banyaknya dari berbagai situs-situs internet yang berkaitan dengan pembahasan kami.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Perkembangan Fiqih
Fiqih lahir bersamaan dengan lahirnya agama islam, sebab agama islam itu sendiri, adalah kumpulan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, hubungan manusia sesamanya. Karena luasnya aspek yang diatur oleh islam, para ahli membagi ajaran islam ke dalam beberapa bidang seperti bidang akidah, ibadah dan muamalah, kesemua ini di masa Rasulullah diterangkan di dalam Al-Quran sendiri yang kemudian diperjelas lagi oleh Rasulullah di dalam sunnahnya. Hukum yang ditetapkan dalam Al-Quran atau sunnah kadang-kadang dalam bentuk jawaban dari suatu pernyataan atau disebabkan terjadinya sesuatu kasus atau merupakan keputusan yang dikeluarkan Rasulullah ketika memutuskan sesuatu perkara. Jadi sumber fiqih di masa itu hanya dua ialah Al-Quran dan sunnah.
Dimasa sahabat banyak terjadi berbagai peristiwa yang dahulunya belum pernah terjadi. Maka untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa yang baru itu para sahabat terpaksa berijtihad, dalam ijtihad ini kadang-kadang terdapat kesepakatan pendapat seperti ini dinamakan “ijmak” dan kadang-kadang terjadi perbedaan pendapat yang dinamakan “atsar”. Para sahabat tidak akan menetapkan hukum sesuatu perbuatan terkecuali memang sudah terjadi, dan hasil ijtihad para sahabat tidak dibukukan karena itu hasil ijtihad mereka belum lagi dianggap sebagai ilmu tetapi hanya merupakan pemecahan terhadap kasus yang mereka hadapi. Karena itu hasil ijtihad para sahabat belum dinamakan fiqih dan para sahabat yang mengeluarkan ijtihad belum dapat dinamakan fuqaha.
Pada abad ke 2 dan ke 3 hijriah, yang dikenal dengan masa tabi’in, tabi’in dan imam mazhab, daerah yang dikuasai oleh umat islam makin meluas, banyak bangsa-bangsa yang bukan arab memeluk islam. Karena itu banyak timbul berbagai kasus baru yang belum pernah terjadi di masa sebelumnya.
Karena kasus baru ini lah yang memaksa para fuqaha berijtihad mencari hukum kasus itu, dalam berijtihad mereka bukan saja berbicara yang mungkin terjadi pada masa mendatang. Jadi sumber fiqih pada masa itu disamping Al-Quran dan sunnah ditambah lagi dengan sumber lain seperti ijmak, qiyas, istihsan, istishab, maslahatul mursalah, mazhab sahabat dan syariat sebelum islam.
Di masa ini dimulai gerakan pembukuan sunnah, fiqih dan berbagai cabang ilmu pengetahuan lainnya. Dalam mencatat fiqih di samping mencatat pendapat juga ditambah dengan dalil pendapat baik Al-Quran maupun Sunnah atau dari sumber lainnya. Pada masa ini orang yang berkecimpung dalam ilmu fiqih dinamakan  “fuqaha” dan ilmu pengetahuan mereka dinamakan “fiqih”.
Orang yang pertama kali mengambil inisiatif dalam bidang ini adalah Malik bin Anas yang mengumpulkan sunnah, pendapat para sahabat dan tabi’in, yang dikumpulkan di dalam sebuah kitab yang dinamakan “muwatha”, yang menjadi pegangan orang hijaz. Imam Abu Yusuf menulis beberapa buah kitab tentang fiqih yang menjadi pegangan orang Irak, Imam Muhammad bin Hasan salah seorang murid Imam Abu Hanifah telah mengumpulkan pendapat-pendapat Imam Abu Hanifah dalam sebuah kitab “Zhirur Riwayah” yang menjadi dasar mazhab Hanafi, dan di Mesir Imam Syafi’i menyusun kitab “Al-Um” yang menjadi dasar mazhab Syafi’i.
Sesuai dengan perkembangan zaman, maka para ahli fiqih dalam memberikan definisi fiqih juga berubah. Diantaranya di bawah ini:
1.      Defenisi fqih pada abad I (pada masa sahabat)
Defenisi fiqih pada masa ini ialah ilmu pengetahuan yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Sebab untuk mengetahui fiqih atau ilmu fiqih hanya dapat diketahui oleh orang yang mempunyai ilmu agama yang mendalam sehingga mereka dapat membahas dengan meneliti buku-buku yang besar dalam masalah fiqih. Mereka inilah yang disebut  liyatafaqqahufiddin yaitu untuk mereka yang bertafaqquh dalam agama islam.
2.      Definisi fiqh pada abad II (masa telah lahirnya madzhab madzhab)
Pada abad II ini talah lahir pemuka pemuka mujtahid yang mendirikan madzhab-madzhab yang terbesar di kalangan umat islam. Pengertian atau definisi fiqih waktu itu diperkecil scopnya, yaitu untuk membahas satu cabang ilmu pengetahuan dari bidang biang ilmu agama. Maka lafaz fiqih dikhususkan untuk nama dari hukum-hukum yang dipetik dari kitabullah dan Sunnnatur Rasul.

B.     Sejarah Perkembangan Mazhab
Madzhab adalah hasil ijtihad seorang imam (mujtahid) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath. Dengan demikian pengertian mazhab adalah: mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang hukum suatu masalah atau kaidah-kaidah istinbath-nya.
Berdasarkan keberadaannya, mazhab fiqih ada yang masih utuh dan dianut masyarakat tertentu, namun ada pula yang telah punah. Sedangkan berdasarkan aspek teologisnya, mazhab fiqih dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu Mazhab Ahlusunnah dan Mazhab Syiah. Di kalangan umat islam ada empat madzhab yang terkenal, yaitu Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali.
Mazhab ini terdiri atas 4 (empat) mazhab populer yang masih utuh sampai sekarang, yaitu sebagai berikut:
a.       Mazhab Hanafi
Pemikiran fiqih dari mazhab ini diawali oleh Imam Abu Hanifah.
Mazhab Hanafi dikenal banyak menggunakan ra’yu, qiyas, dan istihsan. Dalam memperoleh suatu hukum yang tidak ada dalam nash, kadang-kadang ulama mazhab ini meninggalkan kaidah qiyas dan menggunakan kaidah istihsan. Alasannya, kaidah umum (qiyas) tidak bisa diterapkan dalam menghadapi kasus tertentu. Mereka dapat mendahulukan qiyas apabila suatu hadis mereka nilai sebagai hadis ahad.
Yang menjadi pedoman dalam menetapkan hukum Islam (fiqih) di kalangan Mazhab Hanafi adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat, qiyas, istihsan, ijma. Sumber asli dan utama yang digunakan adalah Al-Qur’an dan sunnah Nabi SAW, sedangkan yang lainnya merupakan dalil dan metode dalam meng-istinbath-kan hukum Islam dari kedua sumber tersebut.
Menurut Syed Ameer Ali, karya-karya Abu Hanifah baik mengenai fatwa-fatwanya, maupun ijtihad-ijtihadnya (pada masa beliau masih hidup) belum dikodifikasikan. Setelah beliau meninggal, buah pikirannya dikodifikasikan oleh murid-murid dan pengikut-pengikutnya sehingga menjadi mazhab ahli ra’yi yang hidup dan berkembang.
Berbagai buah pikiran Abu Hanifah yang telah dibukukan oleh muridnya, antara lain oleh Muhammad bin Hasan al-Syaibani yang terkenal dengan al-Kutub al-Sittah. Keenam bagian ini ditemukan secara utuh dalam kitab al-Kafi yang disusun oleh Abi al-Fadi Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Maruzi. Kemudian pada abad ke-5 H muncul Imam as-Sarakhsi yang men-syarah al-Kafi tersebut dan diberi judul al-Mabsut. Al-Mabsut inilah yang dianggap sebagai kitab induk dalam Mazhab Hanafi.
Di samping itu, muridnya yang bernama Abu Yusuf yang dikenal sebagai peletak dasar ushul fiqih Mazhab Hanafi, menulis kitab al-Kharaj yang  membahas tentang hukum yang berhubungan dengan pajak tanah.
b.      Mazhab Maliki
Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Malik. Ia dikenal luas oleh ulama sezamannya sebagai seorang ahli hadis dan fiqih terkemuka serta tokoh Ahlulhadits.
Pemikiran fiqih dan ushul fiqih Imam Malik dapat dilihat dalam kitabnya al-Muwaththa’ yang disusunnya atas anjuran khalifah Ja’far al-Manshur. Kitab ini sebenarnya merupakan kitab hadis, tetapi karena disusun dengan sistematika fiqih dan uraian di dalamnya juga mengandung pemikiran fiqih Imam Malik dan metode istinbath-nya, maka buku ini juga disebut oleh ulama hadis dan fiqih belakangan sebagai kitab fiqih. Berkat buku ini, Mazhab Maliki dapat lestari di tangan murid-muridnya sampai sekarang.
Prinsip dasar Mazhab Maliki ditulis oleh para murid Imam Malik berdasarkan berbagai isyarat yang mereka temukan dalam al-Muwaththa’. Dasar Mazhab Maliki adalah Al-Qur’an, Sunnah Nabi SAW, ijma’ ahl- al-madinah, khabar ahad & qiyas, fatwa sahabat, al-maslahah al-mursalah, istihsan, istishab, sadd az-zar’i, dan syar’u man qablana. Pernyataan ini dapat dijumpai dalam kitab al-Furuq yang disusun oleh Imam al-Qarafi (tokoh fiqih Mazhab Maliki). Imam asy-Syatibi menyederhanakan dasar fiqih Mazhab Maliki tersebut dalam empat hal, yaitu Al-Qur’ an, sunnah Nabi SAW, ijma’, dan rasio. Alasannya adalah karena menurut Imam Malik, fatwa sahabat dan tradisi penduduk Madinah di zamannya adalah bagian dari sunnah Nabi SAW. Yang termasuk rasio adalah al-maslahah al-mursalah, sadd az-zari’ah, istihsan, dan istishab. Menurut para ahli ushul fiqih, qiyas jarang sekali digunakan Mazhab Maliki. Bahkan mereka lebih mendahulukan tradisi penduduk Madinah daripada qiyas.
Di antara para sahabat Imam Malik yang berjasa mengembangkan mazhabnya antara lain: ‘Usman bin al-Hakam al-Juzami, Abd Rahman bin Khalid, Abd Rahman bin Al-Qasim (yang dikenal sebagai murid terdekat Imam Malik dan belajar pada Imam Malik selama 20 tahun), Asyhab bin Abd Aziz dan orang-orang yang semasa dengan mereka.
c.       Mazhab Syafi’i
Pemikiran fiqih mazhab ini diawali oleh Imam Syafi’i. Keunggulan Imam Syafi’i sebagai ulama fiqih, ushul fiqih, dan hadis di zamannya diakui sendiri oleh ulama sezamannya.
Sebagai orang yang hidup di zaman meruncingnya pertentangan antara aliran Ahlulhadits dan Ahlurra’yi. Imam Syafi’i berupaya untuk mendekatkan pandangan kedua aliran ini. Karenanya, ia belajar kepada Imam Malik sebagai tokoh Ahlulhadits dan Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibany sebagai tokoh Ahlurra’yi.
Prinsip dasar Mazhab Syafi’i dapat dilihat dalam kitab ushul fiqh ar-Risalah. Dalam buku ini Syafi’i menjelaskan kerangka dan prinsip mazhabnya serta beberapa contoh merumuskan hukum far’iyyah (yang bersifat cabang). Dalam menetapkan hukum Islam, Imam Syafi’i pertama sekali mencari alasannya dari Al-Qur’an. Jika tidak ditemukan maka ia merujuk kepada sunnah Rasulullah SAW. Apabila dalam kedua sumber hukum Islam itu tidak ditemukan jawabannya, ia melakukan penelitian terhadap ijma’ sahabat. Ijma’ yang diterima Imam Syafi’i sebagai landasan hukum hanya ijma’ para sahabat, bukan ijma’ seperti yang dirumuskan ulama ushul fiqih, yaitu kesepakatan seluruh mujtahid pada masa tertentu terhadap suatu hukum, karena menurutnya ijma’ seperti ini tidak mungkin terjadi. Apabila dalam ijma’ tidak juga ditemukan hukumnya, maka ia menggunakan qiyas, yang dalam ar-Risalah disebutnya sebagai ijtihad. Akan tetapi, pemakaian qiyas bagi Imam Syafi’i tidak seluas yang digunakan Imam Abu Hanifah, sehingga ia menolak istihsan sebagai salah satu cara meng-istinbath-kan hukum syara’
Penyebarluasan pemikiran Mazhab Syafi’i berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki. Diawali melalui kitab ushul fiqhnya ar-Risalah dan kitab fiqhnya al-Umm, pokok pikiran dan prinsip dasar Mazhab Syafi’i ini kemudian disebarluaskan dan dikembangkan oleh para muridnya. Murid Imam Syafi’i yang terkemuka sebagai penyebar luas dan pengembang Mazhab Syafi’i adalah Ismail bin Yahya (yang diakui oleh Imam Syafi’i sebagai pendukung kuat mazhabnya), al-Buwaithiy, Asyhab bin al-Qasim dan al-Rabi’ yang besar jasanya dalam penyebarluasan kedua kitab Imam Syafi’i tersebut.
d.      Mazhab Hanbali
Pemikiran Mazhab Hanbali diawali oleh Imam Ahmad bin Hanbal. Ia terkenal sebagai ulama fiqih dan hadis terkemuka di zamannya dan pernah belajar fiqih Ahlurra’yi kepada Imam Abu Yusuf dan Imam Syafi’i.
Adapun metode Imam Hanbali dalam menetapkan hukum antara lain adalah Al-Qur’an, sunnah Nabi SAW, fatwa sahabat Nabi SAW, hadis mursal & hadis dha’if yang didukung oleh qiyas dan tidak bertentangan dengan ijma’. Penggunaan qiyas hanya dalam keadaan yang amat terpaksa. Prinsip dasar Mazhab Hanbali ini dapat dilihat dalam kitab hadis al-Musnad oleh Ahmad ibn Hanbal. Kemudian dalam perkembangan Mazhab Hanbali pada generasi berikutnya, mazhab ini juga menerima istihsan, sadd az-Zari’ah, ’urf; istishab, dan al-maslahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan hukum Islam.
Di antara ulama yang telah berjasa mengembangkan mazhabnya adalah: al-Atsram Abu Bakar Ahmad bin Haniy al-Khurasaniy, Ahmad bin Muhammad bin al-Hajjaj al-Marwaniy, Ibn Ishaq al-Harbiy dan al-Qasim Umar bin Abi Ali al-Husaen al-Khiraqiy. Keempat ulama besar Mazhab Hanbali ini merupakan murid langsung Imam Ahmad bin Hanbal, dan masing-masing menyusun buku fiqih sesuai dengan prinsip dasar Mazhab Hanbali di atas.
Tokoh lain yang berperan dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziah. Sekalipun kedua ulama ini tidak selamanya setuju dengan pendapat fiqh Imam Ahmad bin Hanbal, mereka dikenal sebagai pengembang dan pembaru Mazhab Hanbali. Disamping itu, jasa Muhammad bin Abdul Wahhab dalam pengembangan dan penyebarluasan Mazhab Hanbali juga sangat besar. Pada zamannya, Mazhab Hanbali menjadi mazhab resmi pemerintah Arab Saudi.
2.      Mazhab Syiah
Mazhab fiqh Syiah yang populer adalah Syiah Zaidiyah dan Syiah Imamiyah.
a.       Mazhab Syiah Zaidiyah
Mazhab ini dikaitkan kepada Zaid bin Ali Zainal Abidin, seorang mufasir, muhaddits, dan faqih di jamannya. Ia banyak menyusun buku dalam berbagai bidang ilmu. Dalam bidang fiqih ia menyusun kitab al-Majmu’ yang menjadi rujukan utama fiqih Zaidiyah. Namun ada di antara ulama fiqih yang menyatakan bahwa buku tersebut bukan tulisan langsung dari Imam Zaid. Namun Muhammad Yusuf Musa (ahli fiqih Mesir) menyatakan bahwa pernyataan tersebut tidak didukung oleh alasan yang kuat. Menurutnya, Imam Zaid di jamannya dikenal sebagai seorang faqih yang hidup sezaman dengan Imam Abu Hanifah, sehingga tidak mengherankan apabila Imam Zaid menulis sebuah kitab fiqih. Kitab al-Majmu’ ini kemudian disyarah oleh Syarifuddin al-Husein bin Haimi al-Yamani as-San’ani dengan judul ar-Raud an-Nadir Syarh Majmu, al-Fiqh al-Kabir.
Para pengembang Mazhab Zaidiyah yang populer diantaranya adalah Imam al-Hadi Yahya bin Husein bin Qasim, yang kemudian dikenal sebagai pendiri Mazhab Hadawiyah. Dalam menyebarluaskan dan mengembangkan Mazhab Zaidiyah, Imam al-Hadi menulis beberapa kitab fiqih. di antaranya Kitab al-Jami’ fi al-Fiqh, ar-Risalah fi al-Qiyas, dan al-Ahkam fi al-Halal wa al-Haram. Setelah itu terdapat imam Ahmad bin Yahya bin Murtada yang menyusun buku al-Bahr az-Zakhkhar al-Jami’ li Mazahib ’Ulama’ al-Amsar.
Pada dasarnya fiqh Mazhab Zaidiyah tidak banyak berbeda dengan fiqh ahlusunnah. Perbedaan yang bisa dilacak antara lain: ketika berwudhu tidak perlu menyapu telinga, haram memakan makanan yang disembelih non-muslim, dan haram mengawini wanita ahlulkitab. Disamping itu, mereka tidak sependapat dengan Syiah Imamiyah yang menghalalkan nikah mut’ah. Menurut Muhammad Yusuf Musa, pemikiran fiqih Mazhab Zaidiyah lebih dekat dengan pemikiran fiqh ahlurra’yi.
b.      Mazhab Syiah Imamiyah
Menurut Muhammad Yusuf Musa, fiqih Syiah Imamiyah lebih dekat dengan fiqih Mazhab Syafi’i dengan beberapa perbedaan yang mendasar. Dalam berijtihad, apabila mereka tidak menemukan hukum suatu kasus dalam Al-Qur’an, mereka merujuk pada sunnah yang diriwayatkan para imam mereka sendiri. Menurut mereka, yang juga dianut oleh Mazhab Syiah Zaidiyah, pintu ijtihad tidak pernah tertutup. Berbeda dengan Syiah Zaidiyah, Mazhab Syiah Imamiyah tidak menerima qiyas sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’. Alasannya, qiyas merupakan ijtihad dengan menggunakan rasio semata. Hal ini dapat dipahami, karena penentu hukum di kalangan mereka adalah imam, yang menurut keyakinan mereka terhindar dari kesalahan (maksum). Atas dasar keyakinan tersebut, mereka juga menolak ijma’ sebagai salah satu cara dalam menetapkan hukum syara’, kecuali ijma’ bersama imam mereka.
Kitab fiqh pertama yang disusun oleh imam mereka, Musa al-Kazim, diberi judul al-Halal wa al-Haram. Kemudian disusul oleh Fiqh ar-Righa yang disusun oleh Ali ar-Ridla.
Menurut Muhammad Yusuf Musa, pendiri sebenarnya fiqih Syiah adalah Abu Ja’far Muhammad bin Hasan bin Farwaij as-Saffar al-A’raj al-Qummi. Dasar pemikiran fiqih Syiah Imamiyah dapat dilihat dalam buku karangannya yang berjudul Basya’ir ad-Darajat fi ’Ulum ’Ali Muhammad wa ma Khassahum Allah bihi. Setelah itu Mazhab Syiah Imamiyah disebarluaskan dan dikembangkan oleh Muhammad bin Ya’qub bin Ishaq al-Kulaini melalui kitabnya, al-Kafi fi ’ilm ad-Din.
Perbedaan mendasar fiqih Syiah Imamiyah dengan jumhur Ahlussunnah antara lain:
1.      Syiah Imamiyah menghalalkan nikah mut’ah yang diharamkan ahlussunnah
2.      Syiah Imamiyah mewajibkan kehadiran saksi dalam talak, yang menurut pandangan ahlussunnah tidak perlu
3.      Syiah Imamiyah, termasuk syiah Zaidiyah, mengharamkan lelaki muslim menikah dengan wanita Ahlulkitab.


BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulakan bahwa hukum islam/fiqih  akan selalu berkembang dari zaman ke zaman. Baik dari zaman Rasulullah, sahabat dan sampai sekarang. Ayat-ayat hukum pada umumnya berupa prinsip-prinsip saja yang harus dikembangkan lebih lanjut. Di saat Rasulullah SAW masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan menafsirkan ayat terletak pada diri beliau melalui sunnahnya. Namun setelah wafat ilmu fiqih masih terus berkembang pada zaman sahabat, mujtahid dan sampai sekarang. Meskipun pernah mengalami kemunduran beberapa abad yang lalu.
Dalam perkembangan fiqih, muncul banyak mazhab fiqih. Menurut Ahmad Satori Ismail,  para ahli sejarah fiqih telah berbeda pendapat sekitar bilangan mazhab-mazhab. Tidak ada kesepakatan para ahli sejarah fiqh mengenai berapa jumlah sesungguhnya mazhab-mazhab yang pernah ada. Namun dari begitu banyak mazhab yang pernah ada,  maka hanya beberapa mazhab saja yang bisa bertahan sampai sekarang. Menurut M. Mustofa Imbabi, mazhab-mazhab yang masih bertahan sampai sekarang  hanya tujuh mazhab saja yaitu: Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii, Hambali, Zaidiyah dan Imamiyah. Adapun mazhab-mazhab lainnya telah tiada.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa mazhab-mazhab yang pernah ada dalam sejarah umat Islam sangat sulit untuk dipastikan berapa bilangannya, untuk itu guna mengetahui berbagai pandangan mazhab tentang berbagai masalah hukum Islam secara keseluruhan bukanlah persoalan mudah sebab harus mengkaji dan mencari setiap literatur berbagai pandangan mazhab-mazhab tersebut.




DAFTAR PUSTAKA

Hasan, M. Ali.  Perbandingan Mazhab Fiqih. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Karim, A. Syafi’i. Drs. Fiqh & Ushul Fiqh. Pustaka Setia, 1997. Bandung.
Yanggo, Huzaimah Tahido. Pengantar Perbandingan Mazhab. Logos. 1997. Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar