Assalamualaikum...

Assalamualaikum...

Selasa, 19 Maret 2013

Ilmu Kalam - Mu'tazilah


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
munculnya aliran Mu’tazilah Sejarah munculnya aliran mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah).







BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu aliran dalam islam yang banyak terpengaruh dengan filsafat barat dan cenderung pada rasio. Bahkan menjadikan akal sebagai panglima. Nash-nash Al-Qur’an diterjemahkan dan diterangkan sesuai dengan kemauan akal dan hawa nafsunya. Maka banyak pendapat-pendapat yang menyimpang, seperti sebagian mereka tidak mewajibkan jilbab bagi perempuan, pendapat bahwa rukun iman hanya lima.
Keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk, bolehnya imam perempuan dalam sholat, menolak poligami, menolak hokum pidana dalam islam, tidak mempercayai azab kubur dll.
Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya tidak tegas dalam nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa besar maupun dosa kecil.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki keterkaitan langsung dengan masalah al-wa’ad wa al wa’id (janji dan ancaman) yang merupakan salah satu dari ”pancasila” Mu’tazilah. Aspek penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi unsure yang tak kalah penting dari iman pandangan Mu’tazilah yang bercorak rasional. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas yang lain (al-iman bi at-taqlid). Di sini terlihat bahwa Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal bagi keimanan.


B.     Sejarah Kemunculan
Sejarah munculnya Mu’tazilah kelompok pemuja akal ini muncul dikota bashrah (iraQ), pada abad ke-2 hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifa Hisyam bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan guru. Dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Sebenarnya term Mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad pertama Hijriah. Istilah ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi setelah Usman bin Affan wafat. Pertama, pertentangan antara Aisyah, Tholhah, dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang jamal. Kedua, perselisihan antara Muawiyah dan Ali Bin Abi Thalib sehingga pecah perang Shiffin.Sejumlah sahabat tidak mau terlibat dalam konflik politik berdarah tersebut. Mereka menjauhkan diri dari persoalan politik itu dan tidak memihak pada siapapun.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secara teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (disebut Mu’tazilah I) muncul sebagai respon politik murni. Golongaan ini tumbuh sebagai kaum netral politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang tumbuh dikemudian hari.[2]
Golongan kedua (disebut Mu’tazilah II) muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
C.    Latar Belakang Mu’tazilah
Mu’tazilah secara etimologis bermakna: orang-orang yang memisahkan diri, sebutan ini mempunyai satu kronologi yang tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di kalangan tabi’in. Asy-Shihristani berkata: suatu hari datang seorang laki-laki kepada Al-Hasan Al-Bashri berkata ia “wahai imam dalam agama, telah muncul di zaman kita ini kelompok yang mengafirkan pelaku dosa besar (dibawah dosa syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan kelompok lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam mazhab mereka suatu amalan bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa menjadikannya sebagai prinsip (dalam agama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan lancangnya Washil bin Atha berseloroh:  “menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak kafir, bahkan ia berada pada satu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang Mesjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Al-Hasan Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “washil telah memisahkan diri dari kita”. Maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan Mu’tazilah.
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah wal Jamaah: “sesungguhnya pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena keimananya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq (dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).
Mu’tazilah berarti “memisahkan diri”. Nama ini pada mula nya diberikan oleh orang di luar Mu’tazilah, karena tokoh pendirinya Washil bin Atha, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya Al-Hasan Al-Bashri.
Meskipun nama tersebut semula muncul dari kalangan luar Mu’tazilah, namun dalam perkembangan berikutnya secara diam-diam pengikut Mu’tazilah menyetujui dan menggunakan nama tersebut sebagai nama sebuah aliran teologi mereka. Namun, pengertian memisahkan diri bagi mereka tidak sama dengan pengertian yang diberikan oleh non-Mu’tazili. Bagi mereka Mu’tazilah berarti memisahkan atau menjauhkan diri dari yang salah, sebagai suatu tindakan terbaik.
D.    Lima ajaran dasar teologi Mu’tazilah
1.      At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan tuhan) merupakn prinsip utama dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti kemahaesaannya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tak ada satu pun yang menyamainya.Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Bila ada yang qadim lebih dari satu, maka telah terjadi ta’ addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[3]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfimesr tajassum),dan Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada satu pun Namun, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat melainkan dzat nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifatnya.

2.      Al-Adl
yang berarti Tuhan Maha adil. Adil ini merupakan sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan terbaik (al-ashlah), dan bukan yang tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.[4] Dengan demikian, Tuhan terkait dengan janjinya.
Ajaran tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain:
a.       Perbuatan manusia
Manusia menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.[5] Manusia benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk, Tuhan hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah buruk. Apapun yang akan diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak dipaksa.
b.      Berbuat baik dan terbaik
Dalam istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-ahalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Maha sempurna.[6] Menurut An-nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.[7]
c.       Mengutus rasul
Mengutus rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
1)      Tuhan wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali dengan mengutus rasul kepada mereka.
2)      Al-Qur’an secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]29:). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut dengan pengutusan rasul.
3)      Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadanya. Agar tujuan tersebut berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[8]

3.      Al-wa’ad wa al-wa’id
Al-wa’ad wa al-wa’id berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana, tidak akan melanggar janji nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik (al-muthi) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al-ashi). Begitu pula janji Tuhan untuk memberi Siapapun berbuat baik akan dibalas dengan kebaikan. Siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat pedih.
Ajaran ketiga ini tidak memberi peluang bagiTuhan, selain menunaikan janjinya, yaitu memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia taubat. Kejahatan dan kedurhakaan yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.[9] Ajaran ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan perbuatan dosa.
4.      Al-Manzilah bain al-manzilatain
Inilah ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya Mu’tazilah.Ajaran ini terkenal dengan status orang beriman (mukmin) yang melakukan dosa besar. Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Adapun pendapat Washil bin Atha menurutnya, orang tersebut berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Washil bin Atha dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya Hasan Al-Basri. Berawaal dari ajaran itulah dia membangun mazhabnya.

5.      Al-Amr bi Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran ini menekankan kepihakan kepada kebenaran dan kebaikan.Ini merupakan konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan mencegahnya dari kejahatan.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar, yaitu berikut ini:
a.       Ia mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu memang munkar.
b.      Ia mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c.       Ia mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau nahi munkar tidak akan membawa mudarat yang lebih besar.
d.      Ia mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan dirinya dan hartanya.[10]

E.     Pandangan aliran Mu’tazilah
1.      Tempat tinggal Allah SWT.
Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang hal ini, sebagian beranggapan bahwa, Allah SWT.Itu berada di setiap tempat, yang berarti dia mengatur sesuatu di setiap tempat, sehingga aturannya pun berada di setiap tempat, dan anggapan ini dikemukakan sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah. Sementara sebagian lainnya beranggapan bahwa, Allah SWT.Itu tidak berada di setiap tempat, tetapi hanya bertempat dalam dirinya sendiri.
2.      Melihat Allah SWT.
Para pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, Allah SWT tidak dapat dilihat dengan penglihatan. Sekalipun begitu mereka berbeda anggapan, apakah Allah SWT dapat dilihat dengan hati sanubari, Abu al-Hudzail dan sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah berkata “kami melihat Allah SWT dengan Hati sanubari, yang berarti dengan hati sanubari itulah kami mengetahuinya”. Sementara Hisyam al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman mengingkari hal demikian.

3.      Pengetahuan Allah
Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda angggapan tentang pengetahuan Allah SWT. Dan kekuasaan nya, apakah bersifat universal atau tidak. Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua anggapan.
a.       Abu al-Hudzail beranggapan bahwa, pengetahuan Allah SWT. Itu bersifat universal begitupun dengan kekuasaannya, sehingga gerakan-gerakan para penghuni surga pun pasti terputus dan terhenti selama-lamanya.
b.      Sebagian lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan Allah dan kekuasaannya terhadap sesuatu tidaklah bersifat universal.

4.      Perbuatan Allah
Para pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbuatan Allah SWT.Itu berakhir atau tidak. Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua anggapan:
a.       Jaham ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah SWT. Itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun niscaya musnah akhirnya, sehingga tinggallah Allah SWT. Sendiri sebagai Dzat yang Maha Akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan Dzat yang Maha awal yang tiada sesuatu pun menyertainya.
b.      Para pengikut aliran Mu’tazilah hanya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para penghuni surga itu pun niscaya kekal didalam surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan (pahala) yang dikaruniakan Allah SWT. Kepada mereka sementara para penghuni neraka itu niscaya pula kekal didalam nerakanya, mengenyam kepedihan-kepedihan (siksa) yang ditimpakan Allah SWT. Kepada mereka.
Begitulah, semua itu niscaya tidak berakhir, begitupun dengan sesuatu yang diketahui dan dikuasai Allah SWT.

F.   Tokoh-tokoh Mu’tazilah
1.      Washil bin Atha
Washil bin Atha Lahir sekitar tahun 70 H di Madinah. Dari Madinah beliau pindah ke Bashrah dan berguru dengan Hasan Al-Bashri, seorang tokoh ulama besar yang sangat terkenal.Washil termasuk murid yang pandai, cerdas, dan tekun belajar.
2.      Abu Huzail al-allaf
Tokoh ini Lahir tahun 135 H (751 M) dan wafat tahun 325 H (849 M). Ia merupakan generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang mengintrodusir dan menyusun dasar-dasar paham Mu’tazilah yang lima (al-ushul al-khamsah). Ia berguru dengan Usman al-Thawil, murid Washil bin Atha.
3.      Al-Nazzam
Nama lengkapnya Ibrahim bin Sayyar, tapi ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Nazzam. Ia adalah salah seorang murid Abu Huzail al-allaf. Pada waktu kecil ia banyak bergaul dengan orang-orang non muslim dan setelah dewasa ia banyak bergaul dengan para ahli filsafat serta mempelajari dan menekuni ilmu ini.
4.      Al-Jubba’i
Nama lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab. Ia lahir tahun 235 H/849 M di Juba’, wafat tahun 303 H/915 M di Bashrah.
Situasi politik pada zamannya tidak stabil.Gerakan-gerakan sparatis dibanyak daerah bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir di mana-mana sehingga kekuasaan pemerintah pusat jauh menurun dan kewibawaanya berkurang. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab masing-masing dinasti kecil yang menguasai beberapa daerah juga tetap turut memajukan ilmu pengetahuan.
Al-Jubba’I berguru dengan Al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail al-Allaf.

















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Semua aliran dalam teologi islam, apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang kuat. Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal mempunyai daya yang lemah.
Mu’tazilah mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban. Bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh golongan-goolongan umat islam lainnya. Aliran kaum Mu’tazilah dipandang sebagai aliran yang menyimpang dari ajaran islam, dan dengan demikian tak disenangi oleh sebagian umat islam, pandangan demikian timbul karena kaum Mu’tazilah dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh rasio. Sebagian diketahui kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional, tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.









                                                          DAFTAR PUSTAKA
Asmuni, Drs. H. M. Yusron. ILMU TAUHID. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Rozak, DR. Abdul, M.Ag dan DR. Rosihon Anwar, M.Ag. ILMU KALAM. CV. PUSTAKA SETIA, Bandung.
Al-Asy’ari, Abdul Hasan Isma’il, Prinsip PrinsipDasar Aliran Teologi Islam, CV. PUSTAKA SETIA, Bandung. 1998.
http : //www.syariahonline.com/v2/aqidah/2416-pengertian-mu’tazilah-html
http : //wiki.myquran.org/index.php./mu’taziliyah
                            

















[1] Luwis Ma’luf, Al-munjid fi Al-lughah. Darul kitab Al-Arabi, cet. X, Beirut. t.t., hlm. 207.
[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta, 1995, cet II, hlm, 17.
[3] Abd Al-Jabbar bin Ahmad. Syarh Al-ushul Al-khamsah, maktab wahbah, kairo, 1965, hlm. 196.
[4] Al-Jabbar, op. cit., hlm. 132..
[5] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Dar Al-Manar, kairo, 1991, hlm. 122.
[6] Mazru’ah, op. cit., hlm. 127.
[7] Syahrastani, op. cit., hlm. 54.
[8] Ibid. hlm. 130-131.
[9] Houstsma, op. cit., hlm. 792.
[10] Al-Jabbar, op. cit., hlm. 142-143.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar