BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
munculnya aliran Mu’tazilah Sejarah munculnya aliran
mu’tazilah oleh para kelompok pemuja dan aliran mu’tazilah tersebut muncul di
kota Bashrah (Iraq) pada abad ke 2 Hijriyah, tahun 105 – 110 H, tepatnya pada
masa pemerintahan khalifah Abdul Malik Bin Marwan dan khalifah Hisyam Bin Abdul
Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan
Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal, kemunculan ini
adalah karena Wasil bin Atha' berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan
mukmin dan bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat
mukmin berdosa besar masih berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini
dikarenakan perselisihan tersebut antar murid dan Guru, dan akhirnya golongan
mu’tazilah pun dinisbahkan kepadanya. Sehingga kelompok Mu’tazilah semakin
berkembang dengan sekian banyak sektenya. kemudian para dedengkot mereka
mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun.
Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar diwarnai oleh Manhaj ahli
kalam (yang berorientasi pada akal dan mencampakkan dalil-dalil dari Al Qur’an
dan As Sunnah).
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Mu’tazilah
Mu’tazilah adalah salah satu aliran
dalam islam yang banyak terpengaruh dengan filsafat barat dan cenderung pada
rasio. Bahkan menjadikan akal sebagai panglima. Nash-nash Al-Qur’an
diterjemahkan dan diterangkan sesuai dengan kemauan akal dan hawa nafsunya. Maka
banyak pendapat-pendapat yang menyimpang, seperti sebagian mereka tidak
mewajibkan jilbab bagi perempuan, pendapat bahwa rukun iman hanya lima.
Keyakinan bahwa Al-Qur’an itu makhluk,
bolehnya imam perempuan dalam sholat, menolak poligami, menolak hokum pidana
dalam islam, tidak mempercayai azab kubur dll.
Mengenai perbuatan apa saja yang
dikategorikan sebagai dosa besar, aliran Mu’tazilah merumuskan secara lebih
konseptual ketimbang aliran Khawarij. Yang dimaksud dengan dosa besar menurut
pandangan Mu’tazilah adalah segala perbuatan yang ancamannya tidak tegas dalam
nas. Tampaknya Mu’tazilah menjadikan ancaman sebagai kriteria dasar bagi dosa
besar maupun dosa kecil.
Seluruh pemikir Mu’tazilah sepakat bahwa
amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman, bahkan
hampir mengidentikkannya dengan iman. Ini mudah dimengerti karena konsep mereka
tentang amal sebagai bagian penting keimanan memiliki keterkaitan langsung
dengan masalah al-wa’ad wa al wa’id (janji
dan ancaman) yang merupakan salah satu dari ”pancasila” Mu’tazilah. Aspek
penting lainnya dalam konsep Mu’tazilah tentang iman adalah apa yang mereka
identifikasikan sebagai ma’rifah (pengetahuan dan akal). Ma’rifah menjadi
unsure yang tak kalah penting dari iman pandangan Mu’tazilah yang bercorak
rasional. Ma’rifah sebagai unsur pokok yang rasional dari iman berimplikasi
pada setiap penolakan keimanan berdasarkan otoritas yang lain (al-iman bi at-taqlid). Di sini terlihat bahwa
Mu’tazilah sangat menekankan pentingnya pemikiran logis atau penggunaan akal
bagi keimanan.
B.
Sejarah
Kemunculan
Sejarah munculnya Mu’tazilah kelompok
pemuja akal ini muncul dikota bashrah (iraQ), pada abad ke-2 hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya pada masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin
Marwan dan khalifa Hisyam bin Abdul Malik.
Pelopornya adalah seorang penduduk
bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar masih
berstatus mukmin. Inilah awal kemunculan paham ini dikarenakan perselisihan
tersebut antar murid dan guru. Dan akhirnya golongan Mu’tazilah pun dinisbahkan
kepadanya. Kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. Sebenarnya term Mu’tazilah sudah muncul pada pertengahan abad pertama
Hijriah. Istilah ini digunakan untuk orang-orang (para sahabat) yang memisahkan
diri atau bersikap netral dalam peristiwa-peristiwa politik yang terjadi
setelah Usman bin Affan wafat. Pertama, pertentangan antara Aisyah, Tholhah,
dan Zubair, dengan Ali bin Abi Thalib sehingga meletus perang jamal. Kedua,
perselisihan antara Muawiyah dan Ali Bin Abi Thalib sehingga pecah perang
Shiffin.Sejumlah sahabat tidak mau terlibat dalam konflik politik berdarah
tersebut. Mereka menjauhkan diri dari persoalan politik itu dan tidak memihak
pada siapapun.
Secara harfiah kata Mu’tazilah berasal
dari i’tazala yang berarti berpisah atau memisahkan diri, yang berarti juga
menjauh atau menjauhkan diri.[1] Secara
teknis, istilah Mu’tazilah menunjuk pada dua golongan.
Golongan pertama (disebut Mu’tazilah I)
muncul sebagai respon politik murni. Golongaan ini tumbuh sebagai kaum netral
politik, khususnya dalam arti bersikap lunak dalam menangani pertentangan
antara Ali bin Abi Thalib dan lawan-lawannya, terutama Mu’awiyah, Aisyah, dan
Abdullah bin Zubair. Golongan inilah yang mula-mula disebut kaum Mu’tazilah karena
mereka menjauhkan diri dari pertikaian masalah khalifah. Kelompok ini bersifat
netral politik tanpa stigma teologis seperti yang ada pada kaum Mu’tazilah yang
tumbuh dikemudian hari.[2]
Golongan kedua (disebut Mu’tazilah II)
muncul sebagai respon persoalan teologis yang berkembang di kalangan Khawarij
dan Murji’ah akibat adanya peristiwa tahkim. Golongan ini muncul karena mereka
berbeda pendapat dengan golongan Khawarij dan Murji’ah tentang pemberian status
kafir kepada orang yang berbuat dosa besar.
C.
Latar
Belakang Mu’tazilah
Mu’tazilah secara etimologis bermakna:
orang-orang yang memisahkan diri, sebutan ini mempunyai satu kronologi yang
tidak bisa dipisahkan dengan sosok Al-Hasan Al-Bashri, salah seorang imam di
kalangan tabi’in. Asy-Shihristani berkata: suatu hari datang seorang laki-laki
kepada Al-Hasan Al-Bashri berkata ia “wahai imam dalam agama, telah muncul di
zaman kita ini kelompok yang mengafirkan pelaku dosa besar (dibawah dosa
syirik). Dan dosa tersebut diyakini sebagai suatu kekafiran yang dapat
mengeluarkan pelakunya dari agama, mereka adalah kaum Khawarij. Sedangkan
kelompok lainnya sangat toleran terhadap pelaku dosa besar. Dan dosa tersebut
tidak berpengaruh terhadap keimanan. Karena dalam mazhab mereka suatu amalan
bukanlah rukun dari keimanan dan kemaksiatan tidak berpengaruh terhadap
keimanan sebagaimana ketaatan tidak berpengaruh terhadap kekafiran, mereka
adalah Murji’ah. Bagaimanakah pendapatmu dalam permasalahan ini agar kami bisa
menjadikannya sebagai prinsip (dalam agama)?” Al-Hasan Al-Bashri pun berpikir
sejenak dalam permasalahan tersebut. Sebelum beliau menjawab, tiba-tiba dengan
lancangnya Washil bin Atha berseloroh:
“menurutku pelaku dosa besar bukan seorang mukmin, namun ia juga tidak
kafir, bahkan ia berada pada satu keadaan di antara dua keadaan, tidak mukmin
dan juga tidak kafir.” Lalu ia berdiri dan duduk menyendiri di salah satu tiang
Mesjid sambil tetap menyatakan pendapatnya tersebut kepada murid-murid Al-Hasan
Al-Bashri lainnya. Maka Al-Hasan Al-Bashri berkata: “washil telah memisahkan
diri dari kita”. Maka disebutlah dia dan para pengikutnya dengan sebutan
Mu’tazilah.
Pertanyaan itu pun akhirnya dijawab
Al-Hasan Al-Bashri dengan jawaban Ahlussunnah wal Jamaah: “sesungguhnya pelaku
dosa besar adalah seorang mukmin yang tidak sempurna imannya. Karena
keimananya, ia masih disebut mukmin dan karena dosa besarnya ia disebut fasiq
(dan keimanannya pun menjadi tidak sempurna).
Mu’tazilah berarti “memisahkan diri”.
Nama ini pada mula nya diberikan oleh orang di luar Mu’tazilah, karena tokoh
pendirinya Washil bin Atha, tidak sependapat dan memisahkan diri dari gurunya
Al-Hasan Al-Bashri.
Meskipun nama tersebut semula muncul
dari kalangan luar Mu’tazilah, namun dalam perkembangan berikutnya secara
diam-diam pengikut Mu’tazilah menyetujui dan menggunakan nama tersebut sebagai
nama sebuah aliran teologi mereka. Namun, pengertian memisahkan diri bagi
mereka tidak sama dengan pengertian yang diberikan oleh non-Mu’tazili. Bagi
mereka Mu’tazilah berarti memisahkan atau menjauhkan diri dari yang salah,
sebagai suatu tindakan terbaik.
D.
Lima
ajaran dasar teologi Mu’tazilah
1. At-Tauhid
At-Tauhid (pengesaan tuhan) merupakn prinsip utama
dan intisari ajaran Mu’tazilah. Sebenarnya, setiap mazhab teologis dalam islam
memegang doktrin ini. Namun, bagi Mu’tazilah, tauhid memiliki arti yang
spesifik. Tuhan harus disucikan dari segala sesuatu yang dapat mengurangi arti
kemahaesaannya. Tuhanlah satu-satunya yang esa, yang unik dan tak ada satu pun
yang menyamainya.Oleh karena itu, hanya dialah yang qadim. Bila ada yang qadim
lebih dari satu, maka telah terjadi ta’
addud al-qudama (berbilangnya dzat yang tak berpermulaan).[3]
Untuk memurnikan keesaan Tuhan (tanzih), Mu’tazilah
menolak konsep Tuhan memiliki sifat-sifat, penggambaran fisik Tuhan (antromorfimesr tajassum),dan Tuhan dapat
dilihat dengan mata kepala. Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan itu Esa, tak ada
satu pun Namun, mendengar, kuasa, mengetahui dan sebagainya itu bukan sifat
melainkan dzat nya. Menurut mereka sifat adalah sesuatu yang melekat. Bila
sifat Tuhan yang qadim, berarti ada dua yang qadim, yaitu dzat dan sifatnya.
2. Al-Adl
yang berarti Tuhan Maha adil. Adil ini merupakan
sifat yang paling gamblang untuk menunjukkan kesempurnaan, karena Tuhan Maha
sempurna, dia sudah pasti adil. Ajaran ini bertujuan ingin menempatkan Tuhan
benar-benar adil menurut sudut pandang manusia, karena alam semesta ini
sesungguhnya diciptakan untuk kepentingan manusia. Tuhan dipandang adil apabila
bertindak hanya yang baik (ash-shalah) dan
terbaik (al-ashlah), dan bukan yang
tidak baik. Begitu pula Tuhan itu adil bila tidak melanggar janjinya.[4] Dengan
demikian, Tuhan terkait dengan janjinya.
Ajaran
tentang keadilan ini berkait erat dengan beberapa hal, antara lain:
a. Perbuatan
manusia
Manusia
menurut Mu’tazilah, melakukan dan menciptakan perbuatannya sendiri, terlepas
dari kehendak dan kekuasaan Tuhan, baik secara langsung atau tidak.[5] Manusia
benar-benar bebas untuk menentukan pilihan perbuatannya baik atau buruk, Tuhan
hanya menyuruh dan menghendaki yang baik, bukan yang buruk. Adapun yang disuruh
Tuhan pastilah baik dan apa yang dilarangnya tentulah buruk. Apapun yang akan
diterima manusia di akhirat merupakan balasan perbuatannya di dunia. Kebaikan
akan dibalas kebaikan dan kejahatan akan dibalas keburukan, dan itulah
keadilan. Karena, ia berbuat atas kemauan dan kemampuannya sendiri dan tidak
dipaksa.
b. Berbuat
baik dan terbaik
Dalam
istilah Arabnya, berbuat baik dan terbaik disebut ash-ahalah wa al-ashlah. Maksudnya adalah kewajiban Tuhan untuk berbuat
baik, bahkan terbaik bagi manusia. Tuhan tidak mungkin jahat dan aniaya karena
akan menimbulkan kesan Tuhan penjahat dan penganiaya, sesuatu yang tidak layak
bagi Tuhan. Jika Tuhan berlaku jahat kepada seseorang dan berbuat baik kepada
orang lain berarti ia tidak adil. Dengan sendirinya Tuhan juga tidak Maha
sempurna.[6] Menurut
An-nazzam, salah satu tokoh Mu’tazilah, Tuhan tidak dapat berbuat jahat.[7]
c. Mengutus
rasul
Mengutus
rasul kepada manusia merupakan kewajiban Tuhan karena alasan-alasan berikut ini:
1) Tuhan
wajib berlaku baik kepada manusia dan hal itu tidak dapat terwujud, kecuali
dengan mengutus rasul kepada mereka.
2) Al-Qur’an
secara tegas menyatakan kewajiban Tuhan untuk memberikan belas kasih kepada
manusia (Q.S. Asy-Syu’ara [26]29:). Cara yang terbaik untuk maksud tersebut
dengan pengutusan rasul.
3) Tujuan
diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepadanya. Agar tujuan tersebut
berhasil, tidak ada jalan lain, selain mengutus rasul.[8]
3. Al-wa’ad
wa al-wa’id
Al-wa’ad wa al-wa’id
berarti janji dan ancaman. Tuhan yang Maha adil dan Maha bijaksana, tidak akan
melanggar janji nya sendiri, yaitu memberi pahala surga bagi yang berbuat baik
(al-muthi) dan mengancam dengan siksa
neraka atas orang yang durhaka (al-ashi).
Begitu pula janji Tuhan untuk memberi Siapapun berbuat baik akan dibalas dengan
kebaikan. Siapapun berbuat jahat akan dibalasnya dengan siksa yang sangat
pedih.
Ajaran
ketiga ini tidak memberi peluang bagiTuhan, selain menunaikan janjinya, yaitu
memberi pahala orang yang taat dan menyiksa orang yang berbuat maksiat, kecuali
orang yang sudah bertaubat nasuha. Tidak
ada harapan bagi pendurhaka, kecuali bila ia taubat. Kejahatan dan kedurhakaan
yang menyebabkan pelakunya masuk neraka adalah kejahatan yang termasuk dosa
besar, sedangkan terhadap dosa kecil, Tuhan mungkin mengampuninya.[9] Ajaran
ini tampaknya bertujuan mendorong manusia berbuat baik dan tidak melakukan
perbuatan dosa.
4. Al-Manzilah
bain al-manzilatain
Inilah
ajaran yang mula-mula menyebabkan lahirnya Mu’tazilah.Ajaran ini terkenal
dengan status orang beriman (mukmin)
yang melakukan dosa besar. Khawarij menganggap orang tersebut kafir bahkan
musyrik, sedangkan Murji’ah berpendapat bahwa orang itu tetap mukmin dan
dosanya sepenuhnya diserahkan kepada Tuhan. Adapun pendapat Washil bin Atha
menurutnya, orang tersebut berada diantara dua posisi (al-manzilah bain al-manzilatain). Karena ajaran inilah, Washil bin
Atha dan sahabatnya Amir bin Ubaid harus memisahkan diri (i’tizal) dari majelis gurunya Hasan Al-Basri. Berawaal dari ajaran
itulah dia membangun mazhabnya.
5.
Al-Amr bi
Al-Ma’ruf wa An-Nahy an Munkar
Ajaran
ini menekankan kepihakan kepada kebenaran dan kebaikan.Ini merupakan
konsekuensi logis dari keimanan seseorang. Pengakuan keimanan harus dibuktikan
dengan perbuatan baik, diantaranya dengan menyuruh orang berbuat baik dan
mencegahnya dari kejahatan.
Ada
beberapa syarat yang harus dipenuhi seorang mukmin dalam beramar ma’ruf dan nahi
munkar, seperti yang dijelaskan oleh salah seorang tokohnya, Abd Al-Jabbar,
yaitu berikut ini:
a. Ia
mengetahui perbuatan yang disuruh itu memang ma’ruf dan yang dilarang itu
memang munkar.
b. Ia
mengetahui bahwa kemunkaran telah nyata dilakukan orang.
c. Ia
mengetahui bahwa perbuatan amr ma’ruf atau
nahi munkar tidak akan membawa
mudarat yang lebih besar.
d. Ia
mengetahui atau paling tidak menduga bahwa tindakannya tidak akan membahayakan
dirinya dan hartanya.[10]
E.
Pandangan
aliran Mu’tazilah
1. Tempat
tinggal Allah SWT.
Para
pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan tentang hal ini, sebagian
beranggapan bahwa, Allah SWT.Itu berada di setiap tempat, yang berarti dia
mengatur sesuatu di setiap tempat, sehingga aturannya pun berada di setiap
tempat, dan anggapan ini dikemukakan sebagian besar pengikut aliran Mu’tazilah.
Sementara sebagian lainnya beranggapan bahwa, Allah SWT.Itu tidak berada di
setiap tempat, tetapi hanya bertempat dalam dirinya sendiri.
2.
Melihat Allah
SWT.
Para
pengikut aliran Mu’tazilah bersepakat bahwa, Allah SWT tidak dapat dilihat
dengan penglihatan. Sekalipun begitu mereka berbeda anggapan, apakah Allah SWT
dapat dilihat dengan hati sanubari, Abu al-Hudzail dan sebagian besar pengikut
aliran Mu’tazilah berkata “kami melihat Allah SWT dengan Hati sanubari, yang
berarti dengan hati sanubari itulah kami mengetahuinya”. Sementara Hisyam
al-Fuwathi dan Abbad ibn Sulaiman mengingkari hal demikian.
3. Pengetahuan
Allah
Para
pengikut aliran Mu’tazilah berbeda angggapan tentang pengetahuan Allah SWT. Dan
kekuasaan nya, apakah bersifat universal atau tidak. Tentang hal ini mereka
terpecah lagi dalam dua anggapan.
a. Abu
al-Hudzail beranggapan bahwa, pengetahuan Allah SWT. Itu bersifat universal
begitupun dengan kekuasaannya, sehingga gerakan-gerakan para penghuni surga pun
pasti terputus dan terhenti selama-lamanya.
b. Sebagian
lainnya beranggapan bahwa, pengetahuan Allah dan kekuasaannya terhadap sesuatu
tidaklah bersifat universal.
4. Perbuatan
Allah
Para
pengikut aliran Mu’tazilah berbeda anggapan, apakah perbuatan Allah SWT.Itu
berakhir atau tidak. Tentang hal ini mereka terpecah lagi dalam dua anggapan:
a. Jaham
ibn Shafwan beranggapan bahwa, segala sesuatu yang dikuasai dan diketahui Allah
SWT. Itu niscaya berakhir, bahkan surga dan neraka beserta para penghuninya pun
niscaya musnah akhirnya, sehingga tinggallah Allah SWT. Sendiri sebagai Dzat
yang Maha Akhir sebagaimana mulanya pun Dia itu merupakan Dzat yang Maha awal
yang tiada sesuatu pun menyertainya.
b. Para
pengikut aliran Mu’tazilah hanya beranggapan bahwa, surga dan neraka itu
tidaklah berakhir, bahkan keduanya niscaya selalu kekal, begitupun dengan para
penghuni surga itu pun niscaya kekal didalam surganya mengenyam kenikmatan-kenikmatan
(pahala) yang dikaruniakan Allah SWT. Kepada mereka sementara para penghuni
neraka itu niscaya pula kekal didalam nerakanya, mengenyam kepedihan-kepedihan
(siksa) yang ditimpakan Allah SWT. Kepada mereka.
Begitulah, semua itu niscaya tidak berakhir,
begitupun dengan sesuatu yang diketahui dan dikuasai Allah SWT.
F. Tokoh-tokoh Mu’tazilah
1. Washil
bin Atha
Washil
bin Atha Lahir sekitar tahun 70 H di Madinah. Dari Madinah beliau pindah ke
Bashrah dan berguru dengan Hasan Al-Bashri, seorang tokoh ulama besar yang
sangat terkenal.Washil termasuk murid yang pandai, cerdas, dan tekun belajar.
2. Abu
Huzail al-allaf
Tokoh
ini Lahir tahun 135 H (751 M) dan wafat tahun 325 H (849 M). Ia merupakan
generasi kedua Mu’tazilah. Tokoh inilah yang mengintrodusir dan menyusun
dasar-dasar paham Mu’tazilah yang lima (al-ushul
al-khamsah). Ia berguru dengan Usman al-Thawil, murid Washil bin Atha.
3. Al-Nazzam
Nama
lengkapnya Ibrahim bin Sayyar, tapi ia lebih dikenal dengan sebutan Al-Nazzam.
Ia adalah salah seorang murid Abu Huzail al-allaf. Pada waktu kecil ia banyak
bergaul dengan orang-orang non muslim dan setelah dewasa ia banyak bergaul
dengan para ahli filsafat serta mempelajari dan menekuni ilmu ini.
4. Al-Jubba’i
Nama
lengkapnya Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab. Ia lahir tahun 235 H/849 M di
Juba’, wafat tahun 303 H/915 M di Bashrah.
Situasi
politik pada zamannya tidak stabil.Gerakan-gerakan sparatis dibanyak daerah
bermunculan dan dinasti-dinasti kecil lahir di mana-mana sehingga kekuasaan
pemerintah pusat jauh menurun dan kewibawaanya berkurang. Meskipun demikian,
ilmu pengetahuan tetap berkembang pesat, sebab masing-masing dinasti kecil yang
menguasai beberapa daerah juga tetap turut memajukan ilmu pengetahuan.
Al-Jubba’I
berguru dengan Al-Syahham, salah seorang murid Abu Huzail al-Allaf.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Semua
aliran dalam teologi islam, apalagi Mu’tazilah sama-sama mempergunakan akal
dalam menyelesaikan persoalan-persoalan teologi yang timbul di kalangan umat
islam. Perbedaan yang terdapat antara aliran-aliran itu ialah perbedaan dalam
derajat kekuatan yang diberikan kepada akal. Kalau Mu’tazilah berpendapat bahwa
akal mempunyai daya yang kuat. Asy’ariah sebaliknya berpendapat bahwa akal
mempunyai daya yang lemah.
Mu’tazilah
mempunyai lima ajaran dasar, perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat
dianggap sebagai kewajiban. Bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi oleh
golongan-goolongan umat islam lainnya. Aliran kaum Mu’tazilah dipandang sebagai
aliran yang menyimpang dari ajaran islam, dan dengan demikian tak disenangi
oleh sebagian umat islam, pandangan demikian timbul karena kaum Mu’tazilah
dianggap tidak percaya kepada wahyu dan hanya mengakui kebenaran yang diperoleh
rasio. Sebagian diketahui kaum Mu’tazilah tidak hanya memakai argumen rasional,
tetapi juga memakai ayat-ayat Al-Quran dan hadist untuk menahan pendirian mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Asmuni, Drs. H. M. Yusron. ILMU TAUHID. PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta
Rozak, DR. Abdul, M.Ag dan DR. Rosihon Anwar, M.Ag. ILMU
KALAM. CV. PUSTAKA SETIA, Bandung.
Al-Asy’ari, Abdul Hasan Isma’il, Prinsip PrinsipDasar
Aliran Teologi Islam, CV. PUSTAKA SETIA, Bandung. 1998.
http :
//www.syariahonline.com/v2/aqidah/2416-pengertian-mu’tazilah-html
http : //wiki.myquran.org/index.php./mu’taziliyah
[1] Luwis Ma’luf,
Al-munjid fi Al-lughah. Darul kitab Al-Arabi, cet. X, Beirut. t.t., hlm. 207.
[2] Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Wakaf
Paramadina, Jakarta, 1995, cet II, hlm, 17.
[5] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al-Firaq Al-Islamiyah, Dar
Al-Manar, kairo, 1991, hlm. 122.
[6] Mazru’ah, op. cit., hlm. 127.
[7] Syahrastani, op. cit., hlm. 54.
[9] Houstsma, op. cit., hlm. 792.
[10] Al-Jabbar, op. cit., hlm. 142-143.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar