Assalamualaikum...

Assalamualaikum...

Selasa, 19 Maret 2013

Ilmu Pendidikan - Demokrasi Pendidikan dalam Pandangan Islam


BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Keberadaan demokrasi dalam pendidikan islam, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sejarah/demokrasi dalam ajaran islam dan demokrasi secara umum. Demokrasi dalam ajaran Islam secara prinsip telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan istilah “musyawarah”. Kata demokrasi memang tidak ada terdapat di dalam Al-Qur’an dan hadits, karena kata demokrasi berasal dari Barat atau Eropa yang masuk keperadaban Islam.
Dalam memberikan penafsiran makna demokrasi pendidikan mungkin terdapat bermacam-macam konsep, seperti juga beraneka ragam pandangan dalam memberikan arti demokrasi. Dalam pemerintahan demokrasi, demokrasi harus dijadikan filsafat hidup yang harus ditanamkan kepada setiap peserta didik.      























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Demokrasi dalam Pandangan Islam
         Islam sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap masing-masing dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan negatif. Setelah mengkaji prinsip demokrasi, akan menjadi jelas sikap Islam terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem demokratis tersebut. Ini adalah konsep yang mudah ditolak secara totologis. Di dalam Islam otoritas legislasi terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang diizinkan-Nya dengan standar taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya selama hal itu tidak keluar dari kerangka Islam dan berlaku dalam “tempat kosong”, peluang yang diberikan pada manusia untuk berkreasi. Dalam Islam, tempat kosong itu biasanya disebut mubahat atau mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang penggunaan hak suara bahkan merupakan tugas wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat apabila hak suara tersebut bisa menjadi penguat dan penjaga pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan Imam Khomeini di Iran.
     Islam juga menerima hak perwakilan ketika setiap manusia sejajar dalam hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat. Hanya saja, ada tolok ukur keutamaan yang harus dipegang yaitu takwa. Parlemen juga diterima oleh Islam, tapi dengan dua syarat:
1.   undang-undang yang dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam.
2.   anggota parlemen harus konsekuen dengan agama Islam.

      Begitu pula dengan pemilihan umum presiden. Islam bisa menerimanya bahkan bisa menjadi tugas setiap warga negara muslim. Sebagaimana mendirikan pemerintahan Islam adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang sudah berdiri pun menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat seorang untuk menjadi presiden harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan komitmen agamanya. Pada hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden. Pemilihan presiden oleh rakyat hanya menunjukkan dukungan (bai’at) mereka terhadap realisasi pemerintahan islam yang dipimpin oleh pilihan khusus Tuhan secara langsung atau pilihan umum secara tidak langsung.
      Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya.
     Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua Nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.
Demokrasi adalah sebuah tatanan, bentuk atau mekanisme sistem suatu Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas Negara untuk dijalankan oleh pemerintah Negara tersebut. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung dan adil, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Sampai saat ini demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan paling baik dan menjadi tolak-ukur atas keberhasilan, kesuksesan dan kemakmuran suatu Negara. Di dunia baratlah awal pertama kali diagung-agungkannya demokrasi sebagai suatu mekanisme pemerintahan, dan setelah beberapa abad berlalu, paradigma tersebut semakin menjalar ke seluruh penjuru dunia. Paradigma seperti ini yang mempengaruhi kita Sehingga seakan-akan kita menganggap demokrasi sebagai benih-benih yang berasal dari budaya-budaya barat atau sesamanya. Islam sudah mendengungkan demokrasi dalam pemerintahannya, yang menjadikan Islam sebagai induk dari segala bentuk demokrasi.
Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya:
1.      kebebasan berbicara bagi seluruh warga.
2.      pemimpin dipilih secara langsung.
3.      kekuasaan dipegang oleh suara mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas.
4.      semua harus tunduk pada hukum atau yang dikenal dengan supremasi hukum.
Prinsip-prinsip ini sejalan dengan Islam. Kenyataan ini bisa dilihat dari beberapa hal, misalnya mekanisme kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut juga sejalan dengan sejarah para khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama,
“Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah, maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”
Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh sebelum para Negara-negara mengagung-agungkan demokrasi.
Dalam Islam, demokrasi bukan hanya sekedar pemilihan pemimpin serta anggota parlemennya secara langsung, akan tetapi pengertian demokrasi dalam Islam lebih luas dan menyeluruh. Dari anggapan tersebut, Terdapat banyak ayat Al-Quran yang menjelaskan asas-asas demokrasi itu sendiri:
sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka” (Asy-Syura 38).
“karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran 159).
Ayat ini mengandung sebuah anjuran agar kita selalu mengaplikasikan demokrasi terhadap segala bentuk bidang kehidupan, baik dalam berumah tangga, bermasyarakat atau bernegara. Kandungan ayat tersebut sangat menganjurkan adanya saling bermusyawarah dalam menetapkan sebuah keputusan, asas ini yang menjadi prinsip demokrasi saat ini setelah beberapa abad sebelumnya Islam telah mendengungkannya.
Alangkah indahnya berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara bila semua keputusan dilandaskan pada permusyawarahan. Ini merupakan sebuah asas yang mungkin harus dimiliki oleh Negara-negara demokrasi atau rumah tangga. Karena baik sebuah Negara yang sekalipun pimpinannya dipilih secara langsung akan tetapi tidak mengenal istilah musyawarah, maka pemerintahan tersebut tidak akan efektif.
Bila kita lihat kenyataan ini, kiranya tidaklah berlebihan bila kita katakan bahwa Islam adalah induk dari segala bentuk demokrasi, yang memberikan asas-asas demokrasi itu sendiri.
B.     Dasar-dasar Demokrasi Pendidikan Menurut Islam
Pada dasarnya Islam memberikan kebebasan kepada individu (anak didik) untuk mengembangkan nilai-nilai fitrah yang ada dalam dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman. Islam juga memberikan petunjuk kepada para pendidik, sekaligus menghendaki agar mereka tidak mengekang kebebasan individu anak dalam mengembangkan potensi-potensinya yang telah dibawanya sejak lahir.
Anak didik dipandang sebagai objek yang akan dicapai dari tujuan pendidikan sebab dalam proses pendidikan yang terlibat langsung adalah anak didik itu sendiri. Maka secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akan tercapai apabila pendidik memberikan porsi yang seimbang dalam mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam diri si anak didik, dalam artian sampai sejauh mana para pendidik menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam hakikat pendidikan itu sendiri.
Sebagai acuan pemahaman demokrasi pendidikan dalam Islam, tercermin pada beberapa hal berikut ini:
1.      Islam Mewajibkan Manusia untuk Menuntut Ilmu
Hadis Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap Muslim laki-laki dan perempuan”.
Hadist tersebut mencerminkan bahwa di dalam Islam terdapat demokrasi pendidikan, di mana Islam tidak membeda-bedakan antara Muslim laki-laki maupun perempuan dalam hal kewajiban dan hak menuntut ilmu. Oleh karena itu, pendidikan harus disebarluaskan ke segenap lapisan masyarakat secara adil dan merata sesuai dengan disparitas yang ada atau sesuai kondisi jumlah penduduk yang harus dilayani.
Dengan demikian, untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, untuk kepentingan hidup di dunia serta kehidupan yang kekal di akhirat, tidak boleh tidak umat Islam harus memperhatikan pendidikan, sebab semua ini sangat menentukan baginya terutama dalam fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
2.      Adanya Keharusan Bertanya kepada Ahli Ilmu
Di dalam Alquran Surat Al-Nahl ayat (43) Allah SWT. berfirman, yang artinya sebagai berikut:
Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS Al-Nahl:43).
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa pendidik dan anak didik dalam proses belajar mengajar dan dalam pemahaman ilmu-ilmu tersebut mengahadapi hal-hal yang kurang dipahami, maka perlu bertanya kepada yang ahli dalam bidang tersebut.

Dalam kaitannya dengan demokrasi pendidikan, ada beberapa pedoman tata krama dalam pelaksanaan unsur demokrasi tersebut, yang diperuntukkan baik bagi anak didik ataupun bagi pendidik.
a.       Saling menghargai merupakan wujud dari perasaan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah SWT.
b.      Penyampaian pengajaran harus dengan bahasa dan praktik yang berdasar atas kebaikan dan kebijaksanaan.
c.       Perlakuan adil terhadap anak didik
Pendidik harus memperlakukan semua anak didik secara adil, tidak ada semacam pilih kasih.
d.      Terjalinnya rasa kasih saying antara pendidik dan anak didik.
e.       Tertanamnya pada jiwa pendidik dan anak didik akan kebutuhan taufiq dan hidayah Allah SWT.

C.    Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Pandangan Islam
Sumber ajaran Islam berupa al-Quran dan hadist yang dapat dijadikan sebagai prinsip dasar dalam berdemokrasi diantaranya adalah:
Firman Allah SWT. Artinya:
Dan mereka yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang kamu berikan kepada mereka”. (Q.S. 42:38)
Sabda Rasulullah SAW. Artinya:
a.       Tidak akan gagal orang yang mengerjakan shalat istikharah, dan tidak pula menyesal orang yang melakukan musyawarah.
b.      Tidaklah suatu kaum melaksanakan musyawarah kecuali pasti mendapat petunjuk dan urusannya pasti lancar.
c.       Orang bermusyawarah akan merumuskan ketentraman.
d.      Menuntut ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim (baik pria maupun wanita).

Namun dalam prakteknya ternyata demokrasi telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW, yang dikenal dengan istilah musyawarah.[1]

Nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi yang menjadi prinsip dasar demokrasi, diantaranya:
1.                  Prinsip Kebebasan
Kebebasan yang diberikan kepada manusia dapat menyelamatkan diri dari segala macam bentuk tekanan, paksaan, penjajahan dan segala macamnya. Selain itu menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan ini, sementara disaat yang sama juga sebagai hamba tuhan.
Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan, dalam artian kebebasan merupakan nilai dan nikmat yang diberikan Allah kepada setiap manusia.
Kebebasan merupakan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia, pada dasarnya dapat ditemukan pada semua agama yang berlandaskan tauhid. Kebebasan seperti ini merupakan hak umum bagi setiap manusia, sehingga tidak ada perbedaan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Jika kebebasan yang berada dibawah undang-undang buatan manusia adalah kebebasan semu, maka kebebasan dalam Islam merupakan kebebasan yang dibebankan kepada seorang muslim.
2.                  Prinsip Persamaan
Ajaran Islam telah menetapkan prinsip yang tidak membedakan siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang tidak ada yang lebih tinggi dari yang lain.
Ali abd al Wahid Wafi[2] menjelaskan, bahwa prinsip persamaan adalah dalam segala aspek kehidupan, hak pendidikan dan kebudayaan pengajaran hak bekerja, memperoleh hak bagi orang-orang Islam dan selain orang-orang Islam, hak antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
3.                  Prinsip Penghormatan Terhadap Martabat Manusia
Prinsip ini berhubungan dengan keadilan sedangkan keadilan merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai aspek kehidupan, individual, keluarga, dan masyarakat.
Menurut Murthada al-Muthahari,[3] ada empat pengertian adil dan keadilan:
a.       Keadilan mengandung pengertian pertimbangan atau keadaan seimbang.
b.      Keadilan mengandung persamaan tetapi bukan persamaan mutlak terhadap semua orang, dalam artian yang sempit.
c.       Keadilan dalam perhatian kepada hak-hak pribadi, dan memberikan haknya karena dia yang mempunyai hak tersebut.
d.      Keadilan Tuhan, merupakan kemurahan Allah dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada sesuatu atau seorang setingkat dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya sendiri atau pertumbuhan dan perkembangan kearah kesempurnaan.
Bila dihubungkan dengan prinsip kehormatan terhadap martabat orang lain adalah keadilan dalam perhatian kepada hak-hak pribadi dan keadilan ini merupakan suatu masalah pokok dalam menerapkan prinsip demokrasi di dalam semua aspek kehidupan.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memadai dan cukup tentu diperlukan sarana penunjang, tersedianya tenaga pendidik atau Pembina yang mampu dan trampil untuk mewujudkan tujuan sumberdaya manusia yang berkualitas, dan menghasilkan warga Negara yang mampu mengembangkan dirinya serta masyarakat sekitarnya kearah terciptanya kesejahteraan lahir dan batin, dunia akhirat.
Jadi untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin untuk kepentingan hidup manusia dan kekal di akhirat nanti, tidak boleh tidak umat Islam harus memperhatikan pendidikan dari mulai memperhatikan pemula baca tulis hingga ke tingkat pendidikan yang tertinggi sesuai dengan kebutuhan manusia dalam mengikuti kemajuan-kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.


D.    Demokrasi Pendidikan Islam
           Prinsip demokrasi pendidikan Islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam Islam, atau dengan kata lain demokrasi pendidikan Islam merupakan implementasi prinsip demokrasi Islam terhadap pendidikan Islam.
           Bentuk demokrasi pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1.        Kebebasan bagi pendidik dan peserta didik
Kebebasan disini meliputi:
1)      Kebebasan berkarya
2)      Kebebasan mengembangkan potensi
3)      Kebebasan berpendapat
a.          Kebebasan berkarya
            Menurut al-Abrasyi, mendidik harus membiasakan peserta didiknya untuk berpegang teguh pada kemampuan dirinya sendiri dan diberi kebebasan dalam berfikir tanpa terpaku pada pendapat orang lain, sehingga peserta didik bisa menentukan secara bebas masa depannya sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya.[4]
b.         Kebebasan dalam Mengembangkan Potensi
            Nurcholis Madjid membagi fitrah menjadi dua dimensi, pertama, fitrah al-gharizah, merupakan potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, meliputi akal, nafsu dan hati nurani. Kedua, fitrah al-munazalah adalah potensi luar yang membimbing dan mengarahkan fitrah al-gharizah untuk berkembang sesuai dengan fitrahnya melalui potensi pendidikan.[5]
            Ajaran Islam sangat memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai fitrah yang ada pada dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
c.          Kebebasan dalam Berpendapat
            Pendidik dituntut untuk menghargai pendapat peserta didik, peserta didik dituntut pula untuk menghargai pendapat pendidik dan sesama peserta didik, Karena menghargai pendapat merupakan salah satu kebutuhan dalam melaksanakan pendidikan.
            Para pendidik dalam hal ini adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk mengemukakan isi hatinya dengan cara yang wajar, bermoral dan terpuji serta diridhai oleh Allah SWT sesuai dengan tahap-tahap perkembangan jiwanya. Pendidik bukan menekankan kebebasan pendapat pada peserta didik yang mengakibatkan jiwanya terbelenggu seperti adanya rasa cemas, gelisah dan kecewa selama berlangsungnya proses belajar mengajar.
2.        Persamaan Terhadap Peserta didik dalam Pendidikan Islam
        Islam memberikan kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan atau belajar.
        Abuddin Nata menyatakan bahwa peserta didik yang masuk di lembaga pendidikan tidak ada perbedaan derajat atau martabat, karena penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan dalam suatu ruangan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dari pendidik. Pendidik harus mengajar anak orang yang tidak mampu dengan yang mampu secara bersama atas dasar penyediaan kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta didik.[6] Dalam pendidikan Islam tidak ditemukan sistem sekolah unggul karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi pendidikan Islam sebab bersifat diskriminasi terhadap peserta didik. Dalam pendidikan Islam yang ada adalah sistem pelayanan unggul, dimana setiap peserta didik dibimbing mengembangkan potensinya secara maksimal.
        Pendidik harus mampu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan. Bagi peserta didik yang kurang aspiratif dalam belajar diberikan latihan-latihan remedial secara khusus. Sedangkan yang cerdas diberikan tambahan yang belum dipelajarinya.
3.       Penghormatan Akan Martabat Individu dalam Pendidikan Islam
        Demokrasi sebagai penghormatan akan martabat orang lain, maksudnya ialah seseorang akan memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya sendiri. Secara historis prinsip penghormatan akan martabat individu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam praktek pembebasan kaum tertindas di Mekkah seperti memerdekakan budak.
        Dalam proses pendidikan pendidik menghargai pendapat peserta didik, tanpa membedakan dari mana asalnya. Pendidik dapat menimbulkan sikap saling menghargai pendapat diantara sesame peserta didik. Pendidik dalam memberikan ganjaran atau hukuman kepada peserta didik harus yang bersifat mendidik, karena dengan cara yang demikian akan tercipta situasi dan kondisi yang demokratis dalam proses belajar mengajar.

E.     Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan Islam
           Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, “pendidikan tidak dipandang sebagai proses pemaksaan dari seseorang pendidik untuk menentukan setiap langkah yang harus diterima oleh peserta didiknya secara individual”[7] Dengan demikian dalam proses pembelajaran harus dilandasi oleh nilai-nilai demokrasi yaitu dengan penghargaan terhadap kemampuan peserta didik, menerapkan persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik. Pendidik hendaknya memposisikan peserta didiknya sebagai insan yang harus dihargai kemampuannya tersebut. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran, harus dihindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan ketegangan, syarat dengan perintah dan intruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif dan tidak bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan.
           Pendidikan Islam menempatkan posisi manusia secara proposional inilah hakekat demokrasi pendidikan Islam. Berhubungan nilai-nilai demokrasi merupakan prinsip dasar ajaran Islam, maka demokratisasi dalam pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi jelas merupakan suatu keniscayaan untuk ditegakkan. Apalagi dilihat dari sisi historis perkembangan Islam pada masa kejayaan, praktek pendidikan sudah sangat akrab dengan suasana yang demokrasi. Dari praktek pendidikan yang demokratis inilah lahir kaum intelektual dan ulama-ulama besar yang berfikir bebas. Menurut M.Athiyah al-Abrasyi[8] praktek pendidikan dan pengajaran Islam sangat akrab dengan prinsip-prinsip kebebasan dan demokrasi.
           Islam sendiri menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang lama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya, dan si miskin dan status sosial ekonomi seorang peserta didik, serta tidak pula gender. Bahkan sebagai aplikasi dan prinsip demokrasi, pendidikan diselenggarakan secara gratis, tidak terikat pada batas waktu tertentu, ijazah, atau nilai angka-angka dalam ujian ataupun peraturan-peraturan khusus dalam penerimaan siswa. Sebaliknya, bila seseorang berkeinginan kuat untuk belajar, cinta kepada ilmu ataupun melakukan penelitian, pintu untuk belajar terbuka luas baginya. Di samping itu yang lebih menarik dalam praktek demokrasi pendidikan Islam pada masa dahulu, kata Athiyah adalah partisipasi aktif masyarakat untuk mendirikan mesjid-mesjid, institut-institut dan lembaga-lembaga ilmu pengetahuan sebagai sarana belajar. Kaum hartawan secara berlomba-lomba mengeluarkan dananya untuk pembiayaan pendidikan, sehingga memungkinkan siswa yang kurang mampu meneruskan pelajarannya serta melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi. Sebagai hasil dari keterlibatan aktif masyarakat yang dilandasi rasa persamaan dan kebersamaan dalam pembiayaan pendidikan ternyata telah melahirkan kaum intelektual dan ulama-ulama besar, yang umumnya memang berasal dari anak-anak kurang mampu.
           Untuk mempercepat dan memperkuat proses demokrasi pendidikan ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu:
1.           Upaya pendidikan yang memungkinkan timbulnya kesadaran kritis mengenal arti demokrasi beserta masalah-masalah sosial politik zamannya ditengah masyarakat.
2.           Partisipasi aktif rakyat dalam proses pemerintahan, karena jiwa demokrasi adalah aksi-partisipatif.
3.           Pendidikan Islam menyadarkan manusia bahwa jati dirinya adalah makhluk yang berbeda dengan hewan. Bahkan manusia lebih tinggi dan sempurna dari makhluk lain.
Firman Allah SWT. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia sebaik-baiknya penciptaan” (Q.S. Al-Tahrim : 4)
           Keyakinan bahwa Islam merupakan ajaran agama yang telah meletakkan prinsip-prisip demokrasi ternyata juga diakui oleh kaum orientalis. Misalnya dengan penuh kagum mengemukakan bahwa Islam adalah agama yang pertama memproklamasikan demokrasi nyata yang penuh diketahui manusia. Secara esensial, demokrasi pendidikan merupakan suatu gambaran ideal yang akan terus diperjuangkan dan disempurnakan.
BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Jadi dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.       Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk memutuskan segala sesuatu urusan dengan cara musyawarah.
b.      Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu duniawi ( umum ) ataupun ilmu ukhrawi ( agama ).
c.       Bahwa Islam telah mewajibkan menuntut ilmu pengetahuan kepada seluruh kaum muslimin, baik pria maupun wanita sepanjang hidupnya, sejak lahir sampai meninggal dunia. Hal ini membuktikan bahwa Islam sejak awal telah meletakkan dasar adanya pendidikan seumur hidup.
d.      Agama Islam telah menganjurkan kepada umatnya agar memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri.
e.       Islam menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya dan si miskin dan status sossial ekonomi seorang peserta didik.











DAFTAR PUSTAKA
Ramayolis, Prof: Dr. H. Ilmu Pendidikan Islam. KALAM MULIA, Jakarta.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta 2009
Ihsan, Fuad Drs. H. Dasar-dasar kependidikan. PT RINEKA CIPTA, Jakarta 2000
Prasetya Drs. Filsafat Pendidikan. CV PUSTAKA SETIA, Bandung 2000
http://idesur.blogspot.com/2009/10/makna-demokrasi--dalam-pandangan-islam.html
http://shi-senhikari.blogspot.com/2011/12/filsafat-pendidikan-demokrasi-15.html


[1] al-Thabari, Tarikh al-Umum wa al-Muluk, (Bairut: dasar al-fikr, 1987), h. 31-37.
[2] Ali Abd al-Wahid Wafi, al-Musyawafi fi al-Islam (Mishr Dar Al-Ma’arif, t.Th.) h. 21-22.
[3] Murthada Mutharri dalam Nucholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h. 513-517.
[4] Muhammad Athiyah al-Abrasy, Beberapa Pemikiran Pendidikan, Terjemah Syamsudin Asyrofi dkk. (Yogyakarta: Titian Ilahi Pers, 1996), h. 57
[5] Nurcholis Madjid, Islam ke-Moderenan dank e-Indonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), h. 8
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta:  PT Raja Grafindo Persada, 2000), h. 67
[7] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Menurut Al-Qur’an, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 84
[8] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, op. cit., h. 52

4 komentar: