BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Keberadaan demokrasi dalam
pendidikan islam, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari sejarah/demokrasi
dalam ajaran islam dan demokrasi secara umum. Demokrasi dalam ajaran Islam
secara prinsip telah diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW yang dikenal dengan
istilah “musyawarah”. Kata demokrasi memang tidak ada terdapat di dalam
Al-Qur’an dan hadits, karena kata demokrasi berasal dari Barat atau Eropa yang
masuk keperadaban Islam.
Dalam memberikan
penafsiran makna demokrasi pendidikan mungkin terdapat bermacam-macam konsep,
seperti juga beraneka ragam pandangan dalam memberikan arti demokrasi. Dalam
pemerintahan demokrasi, demokrasi harus dijadikan filsafat hidup yang harus
ditanamkan kepada setiap peserta didik.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Demokrasi dalam Pandangan Islam
Islam sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap
masing-masing dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam,
secara umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan
negatif. Setelah mengkaji prinsip demokrasi, akan menjadi jelas sikap Islam
terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem demokratis tersebut. Ini adalah
konsep yang mudah ditolak secara totologis. Di dalam Islam otoritas legislasi
terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang diizinkan-Nya dengan standar
taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya selama hal itu tidak keluar dari
kerangka Islam dan berlaku dalam “tempat kosong”, peluang yang diberikan pada manusia
untuk berkreasi. Dalam Islam, tempat kosong itu biasanya disebut mubahat atau
mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang penggunaan hak suara bahkan merupakan
tugas wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat apabila hak suara tersebut
bisa menjadi penguat dan penjaga pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan
Imam Khomeini di Iran.
Islam
juga menerima hak perwakilan ketika setiap manusia sejajar dalam hak dipilih
untuk menjadi wakil rakyat. Hanya saja, ada tolok ukur keutamaan yang harus
dipegang yaitu takwa. Parlemen juga diterima oleh Islam, tapi dengan dua
syarat:
1.
undang-undang
yang dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam.
2. anggota
parlemen harus konsekuen dengan agama Islam.
Begitu
pula dengan pemilihan umum presiden. Islam bisa menerimanya bahkan bisa menjadi
tugas setiap warga negara muslim. Sebagaimana mendirikan pemerintahan Islam
adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang sudah berdiri pun
menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat seorang untuk menjadi
presiden harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan komitmen agamanya. Pada
hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden. Pemilihan presiden oleh rakyat
hanya menunjukkan dukungan (bai’at) mereka terhadap realisasi pemerintahan
islam yang dipimpin oleh pilihan khusus Tuhan secara langsung atau pilihan umum
secara tidak langsung.
Adapun
judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam
prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang
memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan
menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak
boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap
keputusannya.
Satu
hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas
undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak
menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya
undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua
Nabi dan imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah
otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan
semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam
pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain
undang-undang yang adil dan benar.
Demokrasi adalah sebuah tatanan, bentuk atau mekanisme sistem suatu
Negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat atas Negara untuk dijalankan
oleh pemerintah Negara tersebut. Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan
dalam arti hanya kedaulatan memilih presiden atau anggota-anggota parlemen
secara langsung dan adil, tetapi dalam arti yang lebih luas. Suatu pemilihan
presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung tidak menjamin negara
tersebut sebagai negara demokrasi sebab kedaulatan rakyat memilih sendiri
secara langsung presiden hanyalah sedikit dari sekian banyak kedaulatan rakyat.
Sampai saat ini demokrasi masih dianggap sebagai bentuk pemerintahan
paling baik dan menjadi tolak-ukur atas keberhasilan, kesuksesan dan kemakmuran
suatu Negara. Di dunia baratlah awal pertama kali diagung-agungkannya demokrasi
sebagai suatu mekanisme pemerintahan, dan setelah beberapa abad berlalu,
paradigma tersebut semakin menjalar ke seluruh penjuru dunia. Paradigma seperti
ini yang mempengaruhi kita Sehingga seakan-akan kita menganggap demokrasi
sebagai benih-benih yang berasal dari budaya-budaya barat atau sesamanya. Islam
sudah mendengungkan demokrasi dalam pemerintahannya, yang menjadikan Islam
sebagai induk dari segala bentuk demokrasi.
Menurut Sadek. J. Sulayman, dalam demokrasi terdapat beberapa prinsip
baku yang harus diaplikasikan dalam sebuah Negara demokrasi, di antaranya:
1.
kebebasan berbicara bagi seluruh
warga.
2.
pemimpin dipilih secara langsung.
3.
kekuasaan dipegang oleh suara
mayoritas tanpa mengabaikan yang minoritas.
4.
semua harus tunduk pada hukum atau
yang dikenal dengan supremasi hukum.
Prinsip-prinsip ini sejalan dengan Islam. Kenyataan ini bisa dilihat dari
beberapa hal, misalnya mekanisme kepemimpinan dalam Islam yang tidak dianggap
sah kecuali bila dilakukan dengan bai’at secara terbuka oleh semua anggota
masyarakat. Seorang khalifah sebagai pemimpin tertinggi tidak boleh mengambil
keputusan dengan hanya dilandaskan pada pendapat dirinya belaka, ia harus
mengumpulkan pendapat dari para cendikiawan atau ahli pikir dari anggota
masyarakat.
Prinsip-prinsip tersebut juga sejalan dengan sejarah para
khalifah-khalifah dunia Islam pada saat awal munculnya Islam, seperti khutbah
Abu Bakar yang diucapkan setelah beliau terpilih sebagai khalifah pertama,
“Wahai sekalian manusia, kalian telah mempercayakan kepemimpinan
kepadaku, padahal aku bukanlah orang yang terbaik di antara kalian. Jika kalian
melihat aku benar, maka bantulah aku, dan jika kalian melihat aku dalam
kebatilan, maka luruskanlah aku. Taatilah aku selama aku taat kepada Allah,
maka bila aku tidak taat kepada-Nya, janganlah kalian mentaatiku.”
Dari pidato singkat beliau, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa sahnya
pada saat itu, masyarakat di hadapan hukum sudah dianggap mempunyai kedudukan
yang sama. Maka dari itu, bila saja beliau (Abu Bakar) melakukan sebuah
kesalahan, beliau meminta untuk diingatkan atau ditegur. Kenyataan ini merupakan
suatu fakta bahwa benih-benih demokrasi sudah dimunculkan oleh Islam jauh
sebelum para Negara-negara mengagung-agungkan demokrasi.
Dalam Islam, demokrasi bukan hanya sekedar pemilihan pemimpin serta
anggota parlemennya secara langsung, akan tetapi pengertian demokrasi dalam Islam
lebih luas dan menyeluruh. Dari anggapan tersebut, Terdapat banyak ayat
Al-Quran yang menjelaskan asas-asas demokrasi itu sendiri:
“sedang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah di antara mereka”
(Asy-Syura 38).
“karena itu maafkanlah mereka, mohonkan ampunan bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu” (Ali Imran 159).
Ayat ini mengandung sebuah anjuran agar kita selalu mengaplikasikan
demokrasi terhadap segala bentuk bidang kehidupan, baik dalam berumah tangga,
bermasyarakat atau bernegara. Kandungan ayat tersebut sangat menganjurkan
adanya saling bermusyawarah dalam menetapkan sebuah keputusan, asas ini yang
menjadi prinsip demokrasi saat ini setelah beberapa abad sebelumnya Islam telah
mendengungkannya.
Alangkah indahnya berkeluarga, bermasyarakat dan bernegara bila semua
keputusan dilandaskan pada permusyawarahan. Ini merupakan sebuah asas yang
mungkin harus dimiliki oleh Negara-negara demokrasi atau rumah tangga. Karena
baik sebuah Negara yang sekalipun pimpinannya dipilih secara langsung akan
tetapi tidak mengenal istilah musyawarah, maka pemerintahan tersebut tidak akan
efektif.
Bila kita lihat kenyataan ini, kiranya tidaklah berlebihan bila kita
katakan bahwa Islam adalah induk dari segala bentuk demokrasi, yang memberikan asas-asas
demokrasi itu sendiri.
B.
Dasar-dasar Demokrasi Pendidikan Menurut Islam
Pada dasarnya
Islam memberikan kebebasan kepada individu (anak didik) untuk mengembangkan
nilai-nilai fitrah yang ada dalam dirinya untuk menyelaraskan dengan
perkembangan zaman. Islam juga memberikan petunjuk kepada para pendidik,
sekaligus menghendaki agar mereka tidak mengekang kebebasan individu anak dalam
mengembangkan potensi-potensinya yang telah dibawanya sejak lahir.
Anak didik
dipandang sebagai objek yang akan dicapai dari tujuan pendidikan sebab dalam
proses pendidikan yang terlibat langsung adalah anak didik itu sendiri. Maka
secara umum dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan akan tercapai apabila
pendidik memberikan porsi yang seimbang dalam mengembangkan potensi-potensi
yang ada dalam diri si anak didik, dalam artian sampai sejauh mana para
pendidik menyampaikan pesan-pesan yang terkandung dalam hakikat pendidikan itu
sendiri.
Sebagai acuan
pemahaman demokrasi pendidikan dalam Islam, tercermin pada beberapa hal berikut
ini:
1.
Islam
Mewajibkan Manusia untuk Menuntut Ilmu
Hadis
Nabi Muhammad SAW, yang berbunyi:
طلب العلم فريضة على كل مسلم ومسلمة
“Menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap
Muslim laki-laki dan perempuan”.
Hadist tersebut mencerminkan bahwa di dalam Islam terdapat demokrasi
pendidikan, di mana Islam tidak membeda-bedakan antara Muslim laki-laki maupun
perempuan dalam hal kewajiban dan hak menuntut ilmu. Oleh karena itu,
pendidikan harus disebarluaskan ke segenap lapisan masyarakat secara adil dan
merata sesuai dengan disparitas yang ada atau sesuai kondisi jumlah penduduk
yang harus dilayani.
Dengan demikian, untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin, untuk
kepentingan hidup di dunia serta kehidupan yang kekal di akhirat, tidak boleh
tidak umat Islam harus memperhatikan pendidikan, sebab semua ini sangat
menentukan baginya terutama dalam fungsinya sebagai khalifah di muka bumi ini.
2. Adanya Keharusan Bertanya kepada Ahli Ilmu
Di dalam
Alquran Surat Al-Nahl ayat (43) Allah SWT. berfirman, yang artinya sebagai
berikut:
Dan kami
tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang laki-laki yang kami beri wahyu
kepada mereka; maka bertanyalah kamu kepada orang-orang yang mempunyai
pengetahuan jika kamu tidak mengetahui. (QS Al-Nahl:43).
Ayat
tersebut mengisyaratkan bahwa pendidik dan anak didik dalam proses belajar
mengajar dan dalam pemahaman ilmu-ilmu tersebut mengahadapi hal-hal yang kurang
dipahami, maka perlu bertanya kepada yang ahli dalam bidang tersebut.
Dalam
kaitannya dengan demokrasi pendidikan, ada beberapa pedoman tata krama dalam
pelaksanaan unsur demokrasi tersebut, yang diperuntukkan baik bagi anak didik
ataupun bagi pendidik.
a. Saling menghargai merupakan wujud dari
perasaan bahwa manusia adalah makhluk yang dimuliakan Allah SWT.
b. Penyampaian pengajaran harus dengan bahasa
dan praktik yang berdasar atas kebaikan dan kebijaksanaan.
c. Perlakuan adil terhadap anak didik
Pendidik harus memperlakukan semua anak didik secara
adil, tidak ada semacam pilih kasih.
d. Terjalinnya rasa kasih saying antara
pendidik dan anak didik.
e. Tertanamnya pada jiwa pendidik dan anak
didik akan kebutuhan taufiq dan hidayah Allah SWT.
C.
Prinsip-prinsip Demokrasi dalam Pandangan Islam
Sumber ajaran Islam berupa al-Quran dan hadist yang dapat dijadikan
sebagai prinsip dasar dalam berdemokrasi diantaranya adalah:
Firman Allah SWT. Artinya:
“Dan mereka yang mematuhi seruan Tuhannya dan mendirikan shalat,
sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka dan mereka
menafkahkan sebagian dari rezeki yang kamu berikan kepada mereka”. (Q.S.
42:38)
Sabda Rasulullah SAW. Artinya:
a.
Tidak
akan gagal orang yang mengerjakan shalat istikharah, dan tidak pula menyesal
orang yang melakukan musyawarah.
b.
Tidaklah
suatu kaum melaksanakan musyawarah kecuali pasti mendapat petunjuk dan
urusannya pasti lancar.
c.
Orang
bermusyawarah akan merumuskan ketentraman.
d.
Menuntut
ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim (baik pria maupun wanita).
Namun dalam prakteknya ternyata demokrasi telah diterapkan oleh
Nabi Muhammad SAW, yang dikenal dengan istilah musyawarah.[1]
Nilai-nilai yang terdapat dalam demokrasi yang menjadi prinsip
dasar demokrasi, diantaranya:
1.
Prinsip
Kebebasan
Kebebasan yang diberikan kepada manusia dapat menyelamatkan diri
dari segala macam bentuk tekanan, paksaan, penjajahan dan segala macamnya.
Selain itu menjadikan manusia sebagai pemimpin dalam kehidupan ini, sementara
disaat yang sama juga sebagai hamba tuhan.
Dasar kebebasan dalam Islam adalah keimanan, dalam artian kebebasan
merupakan nilai dan nikmat yang diberikan Allah kepada setiap manusia.
Kebebasan merupakan nikmat Allah yang dikaruniakan kepada manusia, pada
dasarnya dapat ditemukan pada semua agama yang berlandaskan tauhid. Kebebasan
seperti ini merupakan hak umum bagi setiap manusia, sehingga tidak ada
perbedaan antara manusia satu dengan manusia lainnya. Jika kebebasan yang
berada dibawah undang-undang buatan manusia adalah kebebasan semu, maka
kebebasan dalam Islam merupakan kebebasan yang dibebankan kepada seorang
muslim.
2.
Prinsip
Persamaan
Ajaran Islam telah menetapkan prinsip yang tidak membedakan
siapapun dalam mentaati peraturan undang-undang tidak ada yang lebih tinggi
dari yang lain.
Ali abd al Wahid Wafi[2] menjelaskan,
bahwa prinsip persamaan adalah dalam segala aspek kehidupan, hak pendidikan dan
kebudayaan pengajaran hak bekerja, memperoleh hak bagi orang-orang Islam dan
selain orang-orang Islam, hak antara laki-laki dan perempuan, dan sebagainya.
3.
Prinsip
Penghormatan Terhadap Martabat Manusia
Prinsip ini berhubungan dengan keadilan sedangkan keadilan
merupakan nilai-nilai kemanusiaan yang asasi dan menjadi pilar bagi berbagai
aspek kehidupan, individual, keluarga, dan masyarakat.
Menurut Murthada al-Muthahari,[3]
ada empat pengertian adil dan keadilan:
a.
Keadilan
mengandung pengertian pertimbangan atau keadaan seimbang.
b.
Keadilan
mengandung persamaan tetapi bukan persamaan mutlak terhadap semua orang, dalam
artian yang sempit.
c.
Keadilan
dalam perhatian kepada hak-hak pribadi, dan memberikan haknya karena dia yang
mempunyai hak tersebut.
d.
Keadilan
Tuhan, merupakan kemurahan Allah dalam melimpahkan rahmat-Nya kepada sesuatu
atau seorang setingkat dengan kesediaannya untuk menerima eksistensi dirinya
sendiri atau pertumbuhan dan perkembangan kearah kesempurnaan.
Bila dihubungkan dengan prinsip kehormatan terhadap martabat orang
lain adalah keadilan dalam perhatian kepada hak-hak pribadi dan keadilan ini
merupakan suatu masalah pokok dalam menerapkan prinsip demokrasi di dalam semua
aspek kehidupan.
Untuk dapat memberikan pelayanan yang memadai dan cukup tentu
diperlukan sarana penunjang, tersedianya tenaga pendidik atau Pembina yang
mampu dan trampil untuk mewujudkan tujuan sumberdaya manusia yang berkualitas,
dan menghasilkan warga Negara yang mampu mengembangkan dirinya serta masyarakat
sekitarnya kearah terciptanya kesejahteraan lahir dan batin, dunia akhirat.
Jadi untuk mewujudkan kesejahteraan lahir dan batin untuk
kepentingan hidup manusia dan kekal di akhirat nanti, tidak boleh tidak umat
Islam harus memperhatikan pendidikan dari mulai memperhatikan pemula baca tulis
hingga ke tingkat pendidikan yang tertinggi sesuai dengan kebutuhan manusia
dalam mengikuti kemajuan-kemajuan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
D.
Demokrasi Pendidikan Islam
Prinsip demokrasi
pendidikan Islam dijiwai oleh prinsip demokrasi dalam Islam, atau dengan kata
lain demokrasi pendidikan Islam merupakan implementasi prinsip demokrasi Islam
terhadap pendidikan Islam.
Bentuk demokrasi
pendidikan Islam adalah sebagai berikut:
1. Kebebasan bagi
pendidik dan peserta didik
Kebebasan disini meliputi:
1)
Kebebasan
berkarya
2)
Kebebasan
mengembangkan potensi
3)
Kebebasan
berpendapat
a.
Kebebasan
berkarya
Menurut
al-Abrasyi, mendidik harus membiasakan peserta didiknya untuk berpegang teguh
pada kemampuan dirinya sendiri dan diberi kebebasan dalam berfikir tanpa
terpaku pada pendapat orang lain, sehingga peserta didik bisa menentukan secara
bebas masa depannya sendiri berdasarkan kemampuan yang ada pada dirinya.[4]
b.
Kebebasan
dalam Mengembangkan Potensi
Nurcholis Madjid
membagi fitrah menjadi dua dimensi, pertama, fitrah al-gharizah, merupakan
potensi dalam diri manusia yang dibawanya sejak lahir, meliputi akal, nafsu dan
hati nurani. Kedua, fitrah al-munazalah adalah potensi luar yang
membimbing dan mengarahkan fitrah al-gharizah untuk berkembang sesuai
dengan fitrahnya melalui potensi pendidikan.[5]
Ajaran Islam
sangat memberikan kebebasan kepada peserta didik dalam mengembangkan nilai
fitrah yang ada pada dirinya untuk menyelaraskan dengan perkembangan zaman.
c.
Kebebasan
dalam Berpendapat
Pendidik dituntut
untuk menghargai pendapat peserta didik, peserta didik dituntut pula untuk
menghargai pendapat pendidik dan sesama peserta didik, Karena menghargai
pendapat merupakan salah satu kebutuhan dalam melaksanakan pendidikan.
Para pendidik
dalam hal ini adalah membimbing dan mengarahkan peserta didik untuk
mengemukakan isi hatinya dengan cara yang wajar, bermoral dan terpuji serta
diridhai oleh Allah SWT sesuai dengan tahap-tahap perkembangan jiwanya.
Pendidik bukan menekankan kebebasan pendapat pada peserta didik yang
mengakibatkan jiwanya terbelenggu seperti adanya rasa cemas, gelisah dan kecewa
selama berlangsungnya proses belajar mengajar.
2. Persamaan Terhadap
Peserta didik dalam Pendidikan Islam
Islam memberikan
kesempatan yang sama bagi semua peserta didik untuk mendapatkan pendidikan atau
belajar.
Abuddin Nata
menyatakan bahwa peserta didik yang masuk di lembaga pendidikan tidak ada
perbedaan derajat atau martabat, karena penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan
dalam suatu ruangan dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan dari pendidik.
Pendidik harus mengajar anak orang yang tidak mampu dengan yang mampu secara
bersama atas dasar penyediaan kesempatan belajar yang sama bagi semua peserta
didik.[6]
Dalam pendidikan Islam tidak ditemukan sistem sekolah unggul karena hal
tersebut tidak sesuai dengan prinsip demokrasi pendidikan Islam sebab bersifat diskriminasi
terhadap peserta didik. Dalam pendidikan Islam yang ada adalah sistem pelayanan
unggul, dimana setiap peserta didik dibimbing mengembangkan potensinya secara
maksimal.
Pendidik harus mampu
memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik untuk mendapatkan
pendidikan. Bagi peserta didik yang kurang aspiratif dalam belajar diberikan
latihan-latihan remedial secara khusus. Sedangkan yang cerdas diberikan
tambahan yang belum dipelajarinya.
3. Penghormatan
Akan Martabat Individu dalam Pendidikan Islam
Demokrasi sebagai
penghormatan akan martabat orang lain, maksudnya ialah seseorang akan
memperlakukan orang lain sebagaimana dirinya sendiri. Secara historis prinsip
penghormatan akan martabat individu telah ditunjukkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam praktek pembebasan kaum tertindas di Mekkah seperti memerdekakan budak.
Dalam proses
pendidikan pendidik menghargai pendapat peserta didik, tanpa membedakan dari
mana asalnya. Pendidik dapat menimbulkan sikap saling menghargai pendapat
diantara sesame peserta didik. Pendidik dalam memberikan ganjaran atau hukuman
kepada peserta didik harus yang bersifat mendidik, karena dengan cara yang
demikian akan tercipta situasi dan kondisi yang demokratis dalam proses belajar
mengajar.
E.
Pelaksanaan Demokrasi Pendidikan Islam
Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, “pendidikan tidak dipandang
sebagai proses pemaksaan dari seseorang pendidik untuk menentukan setiap
langkah yang harus diterima oleh peserta didiknya secara individual”[7]
Dengan demikian dalam proses pembelajaran harus dilandasi oleh nilai-nilai
demokrasi yaitu dengan penghargaan terhadap kemampuan peserta didik, menerapkan
persamaan kesempatan dan memperhatikan keragaman peserta didik. Pendidik
hendaknya memposisikan peserta didiknya sebagai insan yang harus dihargai
kemampuannya tersebut. Oleh sebab itu dalam proses pembelajaran, harus
dihindari suasana belajar yang kaku, penuh dengan ketegangan, syarat dengan
perintah dan intruksi yang membuat peserta didik menjadi pasif dan tidak
bergairah, cepat bosan dan mengalami kelelahan.
Pendidikan Islam
menempatkan posisi manusia secara proposional inilah hakekat demokrasi
pendidikan Islam. Berhubungan nilai-nilai demokrasi merupakan prinsip dasar
ajaran Islam, maka demokratisasi dalam pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi
jelas merupakan suatu keniscayaan untuk ditegakkan. Apalagi dilihat dari sisi
historis perkembangan Islam pada masa kejayaan, praktek pendidikan sudah sangat
akrab dengan suasana yang demokrasi. Dari praktek pendidikan yang demokratis
inilah lahir kaum intelektual dan ulama-ulama besar yang berfikir bebas.
Menurut M.Athiyah al-Abrasyi[8]
praktek pendidikan dan pengajaran Islam sangat akrab dengan prinsip-prinsip
kebebasan dan demokrasi.
Islam sendiri
menyerukan adanya prinsip persamaan dan peluang yang lama dalam belajar,
sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar bagi semua orang, tanpa adanya
perbedaan antara si kaya, dan si miskin dan status sosial ekonomi seorang
peserta didik, serta tidak pula gender. Bahkan sebagai aplikasi dan prinsip
demokrasi, pendidikan diselenggarakan secara gratis, tidak terikat pada batas
waktu tertentu, ijazah, atau nilai angka-angka dalam ujian ataupun peraturan-peraturan
khusus dalam penerimaan siswa. Sebaliknya, bila seseorang berkeinginan kuat
untuk belajar, cinta kepada ilmu ataupun melakukan penelitian, pintu untuk
belajar terbuka luas baginya. Di samping itu yang lebih menarik dalam praktek
demokrasi pendidikan Islam pada masa dahulu, kata Athiyah adalah partisipasi
aktif masyarakat untuk mendirikan mesjid-mesjid, institut-institut dan
lembaga-lembaga ilmu pengetahuan sebagai sarana belajar. Kaum hartawan secara
berlomba-lomba mengeluarkan dananya untuk pembiayaan pendidikan, sehingga
memungkinkan siswa yang kurang mampu meneruskan pelajarannya serta melanjutkan
pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi. Sebagai hasil dari keterlibatan
aktif masyarakat yang dilandasi rasa persamaan dan kebersamaan dalam pembiayaan
pendidikan ternyata telah melahirkan kaum intelektual dan ulama-ulama besar,
yang umumnya memang berasal dari anak-anak kurang mampu.
Untuk mempercepat
dan memperkuat proses demokrasi pendidikan ada beberapa hal yang harus
dilakukan yaitu:
1. Upaya pendidikan yang memungkinkan timbulnya kesadaran kritis
mengenal arti demokrasi beserta masalah-masalah sosial politik zamannya
ditengah masyarakat.
2. Partisipasi aktif rakyat dalam proses pemerintahan, karena
jiwa demokrasi adalah aksi-partisipatif.
3. Pendidikan Islam menyadarkan manusia bahwa jati dirinya adalah
makhluk yang berbeda dengan hewan. Bahkan manusia lebih tinggi dan sempurna
dari makhluk lain.
Firman Allah SWT. “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia
sebaik-baiknya penciptaan” (Q.S. Al-Tahrim : 4)
Keyakinan bahwa Islam merupakan
ajaran agama yang telah meletakkan prinsip-prisip demokrasi ternyata juga
diakui oleh kaum orientalis. Misalnya dengan penuh kagum mengemukakan bahwa
Islam adalah agama yang pertama memproklamasikan demokrasi nyata yang penuh
diketahui manusia. Secara esensial, demokrasi pendidikan merupakan suatu
gambaran ideal yang akan terus diperjuangkan dan disempurnakan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Jadi dapat
ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a.
Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk
memutuskan segala sesuatu urusan dengan cara musyawarah.
b.
Agama Islam memerintahkan kepada umatnya untuk
belajar berbagai macam ilmu pengetahuan, baik ilmu duniawi ( umum ) ataupun
ilmu ukhrawi ( agama ).
c.
Bahwa Islam telah mewajibkan menuntut ilmu
pengetahuan kepada seluruh kaum muslimin, baik pria maupun wanita sepanjang
hidupnya, sejak lahir sampai meninggal dunia. Hal ini membuktikan bahwa Islam
sejak awal telah meletakkan dasar adanya pendidikan seumur hidup.
d.
Agama Islam telah menganjurkan kepada umatnya
agar memperlakukan orang lain sebagaimana memperlakukan dirinya sendiri.
e.
Islam menyerukan adanya prinsip persamaan dan
peluang yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah kesadaran untuk belajar
bagi semua orang, tanpa adanya perbedaan antara si kaya dan si miskin dan
status sossial ekonomi seorang peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Ramayolis, Prof: Dr. H. Ilmu Pendidikan Islam.
KALAM MULIA, Jakarta.
Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta 2009
Ihsan, Fuad Drs. H. Dasar-dasar kependidikan.
PT RINEKA CIPTA, Jakarta 2000
Prasetya Drs. Filsafat Pendidikan. CV PUSTAKA
SETIA, Bandung 2000
http://idesur.blogspot.com/2009/10/makna-demokrasi--dalam-pandangan-islam.html
http://shi-senhikari.blogspot.com/2011/12/filsafat-pendidikan-demokrasi-15.html
[1] al-Thabari, Tarikh al-Umum wa al-Muluk, (Bairut: dasar
al-fikr, 1987), h. 31-37.
[2] Ali Abd al-Wahid Wafi, al-Musyawafi fi al-Islam (Mishr
Dar Al-Ma’arif, t.Th.) h. 21-22.
[3] Murthada Mutharri dalam Nucholis Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992), h.
513-517.
[4] Muhammad Athiyah al-Abrasy, Beberapa Pemikiran
Pendidikan, Terjemah Syamsudin Asyrofi dkk. (Yogyakarta: Titian Ilahi Pers,
1996), h. 57
[5] Nurcholis Madjid, Islam ke-Moderenan dank
e-Indonesiaan (Bandung: Mizan, 1991), h. 8
[6] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2000), h. 67
[7] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan
Menurut Al-Qur’an, Terjemahan M. Arifin, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.
84
[8] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, op. cit., h. 52
Blog ini bermanfaat sekali , Thanks gan !!
BalasHapusbisnistiket.co.id
sama-sama :)
Hapusterima kasih atas postingnya, semoga bermanfaat untuk para pendidik muslim, Jepara, 19 Desember 2013
BalasHapusSyukron :)
Hapus