BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada waktu
kerajaan Turki Usmani sudah mencapai puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di
Persia masih baru berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang
dengan cepat. Nama Safawi ini terus di pertahankan sampai tarekat Safawiyah
menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah kerajaan yang disebut kerajaan
Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani. Kerajaan
Safawi mempunyai perbedaan dari dua kerajaan
besar Islam lainnya seperti kerajaan Turki Usmani dan Mughal. Kerajaan ini
menyatakan sebagai penganut Syi'ah dan dijadikan sebagai madzhab negara. Oleh karena
itu, kerajaan Safawi dianggap sebagai peletak dasar pertama terbentuknya Negara
Iran dewasa ini .
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Perkembangan Kerajaan Safawi di Persia
Kerajaan Safawi berasal dari
sebuah gerakan tarekat yang berdiri di Ardabil, sebuah kota di Azerbaijan.[1]
Tarekat ini diberi nama tarekat Safawiyah, di dirikan pada waktu yang hampir
bersamaan dengan berdirinya kerajaan Usmani. Nama Safawiyah, diambil dari nama
pendirinya, Safi Al-Din (1252-1334 M) dan nama Safawi itu harus dipertahankan
sampai tarekat ini menjadi gerakan politik. Bahkan, nama itu terus dilestarikan
setelah gerakan ini berhasil mendirikan kerajaan. Safi Al-Din mendirikan
tarekat Safawiyah setelah ia menggantikan guru dan sekaligus mertuanya yang
wafat tahun 1301 M. pengikut tarekat ini sangat teguh memegang ajaran agama.
Pada mulanya gerakan tasawuf Safawiyah bertujuan memerangi orang-orang ingkar,
kemudian memerangi golongan yang mereka sebut “ahli-ahli bid’ah”. Tarekat yang
dipimpin Safi Al-Din ini semakin penting, terutama setelah ia mengubah bentuk
tarekat itu dari pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal menjadi gerakan
keagamaan yang besar pengaruhnya di Persia, Syria dan Anatolia. Di
negeri-negeri di luar Ardabil Safi Al-Din menempatkan seorang wakil yang
memimpin murid-muridnya. Wakil itu diberi gelar “khalifah”.[2]
Suatu ajaran agama yang dipegang
secara fanatik biasanya kerap kali menimbulkan keinginan di kalangan penganut
ajaran itu untuk berkuasa. Karena itu, lama kelamaan murid-murid tarekat
Safawiyah berubah menjadi tentara yang teratur, fanatik dalam kepercayaan, dan
menentang setiap orang yang bermazhab selain Syi’ah.
Kecenderungan memasuki dunia
politik itu mendapat wujud kontretnya pada masa kepemimpinan Juneid (1447-1460
M). Dinasti Safawi memperluas geraknya dengan menambahkan kegiatan politik pada
kegiatan keagamaan. Perluasan kegiatan ini menimbulkan konflik antara Juneid
dengan penguasa Kara Koyunlu (domba hitam), salah satu suku bangsa Turki yang
berkuasa di wilayah itu. Dalam konflik tersebut, Juneid kalah dan diasingkan ke
suatu tempat. Di tempat itu baru ia mendapat perlindungan dari penguasa Diyar
Bakr, AK-Koyunlu (domba putih), juga satu suku bangsa Turki. Ia tinggal di
istana Uzun Hasan, yang ketika itu menguasai sebagian besar Persia.[3]
Selama dalam pengasingan, Juneid
tidak tinggal diam. Ia malah dapat menghimpun kekuatan untuk kemudian
beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting
salah seorang saudara perempuan Uzun Hasan. Pada tahun 1459 M, Juneid mencoba
merebut Ardabil tetapi gagal. Pada tahun 1460 M, ia mencoba merebut Sircassia
tetapi pasukan yang dipimpinnya dihadang oleh tentara Sirwan. Ia sendiri
terbunuh dalam pertempuran tersebut.
Ketika itu anak Juneid, Haidar,
masih kecil dan dalam asuhan Uzun Hasan. Karena itu, kepemimpinan gerakan
Safawi baru bisa diserahkan kepadanya secara resmi pada tahun 1470 M. Hubungan
Haidar dengan Uzun Hasan semakin erat setelah Haidar mengawini salah seorang
putri Uzun Hasan. Dari perkawinan ini lahirlah Ismail yang di kemudian hari
menjadi pendiri kerajaan Safawi di Persia.
Kemenangan AK Koyunlu tahun 1476 M
terhadap Kara Koyunlu, membuat gerakan militer Safawi yang dipimpin oleh Haidar
dipandang sebagai rival politik oleh AK Koyunlu dalam meraih kekuasaan
selanjutnya. Padahal, sebagaimana telah disebutkan, Safawi adalah sekutu AK
Koyunlu. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan dinasti
Safawi.
Kepemimpinan gerakan Safawi,
selanjutnya berada di tangan Ismail, yang saat itu masih berusia tujuh tahun.
Selama lima tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan
kekuatan dan mengadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syria
dan Anatolia.[4]
Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).
Di bawah pimpinan Ismail, pada
tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan mengalahkan AK Koyunlu di
Sharur, dekat Nakhehivan. Pasukan ini terus berusaha memasuki dan menaklukkan
Tabriz, ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di kota
ini Ismail memproklamasikan dirinya sebagai raja pertama dinasti Safawi.[5]
Ia disebut juga Ismail I.
Ambisi politik mendorongnya untuk
terus mengembangkan sayap menguasai daerah-daerah lainnya, seperti ke Turki
Usmani. Namun Ismail bukan hanya menghadapi musuh yang sangat kuat, tetapi juga
sangat membenci golongan Syi’ah. Peperangan dengan Turki Usmani terjadi pada
tahun 1514 M di Chaldiran, dekat Tabriz. Karena keunggulan Organisasi militer
kerajaan Usmani, dalam peperangan ini Ismail I mengalami kekalahan, malah Turki
Usmani di bawah pimpinan Sultan Salim dapat menduduki Tabriz. Kerajaan Safawi
terselamatkan dengan pulangnya Sultan Usmani ke Turki karena terjadi perpecahan
di kalangan militer Turki di negerinya.[6]
Kekalahan tersebut meruntuhkan
kebanggaan dan kepercayaan diri Ismail. Akibatnya kehidupan Ismail I berubah.
Ia lebih senang menyendiri, menempuh kehidupan hura-hura dan berburu. Keadaan
ini menimbulkan dampak negative bagi kerajaan Safawi.
Rasa permusuhan dengan kerajaan
Usmani terus berlangsung sepeninggal Ismail. Peperangan-peperangan antara dua
kerajaan besar Islam ini terjadi beberapa kali pada zaman pemerintahan Tahmasp
I (1524-1576 M), Ismail II (1576-1577 M), dan Muhammad Khudabanda (1577-1587
M). Pada masa tiga raja tersebut, kerajaan Safawi dalam keadaan lemah.
B. Masa
kejayaan kerajaan Safawi
Kondisi memprihatinkan ini baru bisa
diatasi setelah raja Safawi kelima, Abbas I, naik tahta. Ia memerintah dari
tahun 1588 sampai dengan 1628 M. Langkah-langkah yang ditempuh oleh Abbas I
dalam rangka memulihkan kerajaan Safawi ialah:
1. Berusaha menghilangkan dominasi
pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawi.
2.
Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Usmani. Untuk
mewujudkan perjanjian ini, Abbas I terpaksa harus menyerahkan sebagian
wilayah-wilayahnya, dan perjanjian-perjanjian yang sudah disepakati.
Usaha-usaha yang
dilakukan Abbas I tersebut berhasil membuat kerajaan Safawi kuat kembali.
Setelah itu, Abbas I mulai memusatkan perhatiannya ke luar dengan berusaha
merebut kembali wilayah-wilayah kekuasaannya yang hilang. Pada tahun 1598 M, ia
menyerang dan menaklukkan Heart. Dari sana, ia melanjutkan serangan merebut
Marw dan Balkh. Setelah kekuatan terbina dengan baik, ia juga berusaha
mendapatkan kembali wilayah kekuasaanya dari Turki Usmani. Rasa permusuhan
antara dua kerajaan yang berbeda aliran agama ini memang tidak pernah padam sama
sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah kekuasaan kerajaan
Usmani itu. Pada tahun 1602 M, di saat Turki Usmani berada dibawah Sultan
Muhammad III, pasukan Abbas I menyerang dan berhasil menguasai Tabriz, Sirwan
dan Baghdad. Sedangkan kota-kota Nakhchivan, Erivan, Ganja dan Tiflis dapat
dikuasai tahun 1605-1606 M. selanjutnya, pada tahun 1622 M pasukan Abbas I
berhasil merebut kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gurmun menjadi
pelabuhan Bandar Abbas.[7]
Masa kekuasaan
Abbas I merupakan puncak kejayaan Kerajaan Safawi. Secara politik, ia mampu
mengatasi berbagai kemelut di dalam negeri yang mengganggu stabilitas Negara
dan berhasil merebut kembali wilayah-wilayah yang pernah direbut oleh kerajaan
lain pada masa raja-raja sebelumnya.
Kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi tidak hanya terbatas
di bidang politik. Di bidang yang lain, kerajaan ini juga mengalami banyak
kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu antara lain adalah sebagai berikut:
1. Bidang Ekonomi
Stabilitas
politik kerajaan Safawi pada masa Abbas I ternyata telah memacu perkembangan
perekonomian Safawi, lebih-lebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai dan
pelabuhan Gumrun di ubah menjadi Bandar Abbas.
2. Bidang Ilmu Pengetahuan
Dalam
sejarah Islam bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan
berjasa mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan
apabila pada masa kerajaan Safawi tradisi keilmuan ini terus berlanjut.
3. Bidang Pembangunan Fisik dan Seni
Para
penguasa kerajaan ini telah berhasil mencipatakan Isfahan, ibu kota kerajaan,
menjadi kota yang sangat indah. Di kota tersebut, berdiri bangunan-bangunan
besar lagi indah seperti masjid-masjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah,
jembatan raksasa di atas Zende Rud, dan istana Chihil Sutun, kota Isfahan juga
diperindah dengan taman-taman wisata yang di tata secara apik. Ketika Abbas I
wafat, di Isfahan terdapat 162 mesjid, 48 akademi, 1802 penginapan, dan 273
pemandian umum.[8]
Di bidang seni, kemajuan nampak begitu
kentara dalam gaya arsitektur bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada
mesjid Shah yang dibangun tahun 1611 M dan mesjid Syaikh Lutf Allah yang
dibangun tahun 1603 M.
Demikianlah,
puncak kemajuan yang dicapai oleh kerajaan Safawi. Setelah itu, kerajaan ini
mulai mengalami gerak menurun. Kemajuan yang dicapainya membuat kerajaan ini
menjadi salah satu dari tiga kerajaan besar Islam yang disegani oleh
lawan-lawannya, terutama dalam bidang politik dan militer. Walaupun tidak
setaraf dengan kemajuan Islam di masa klasik, kerajaan ini telah memberikan
konstribusinya mengisi peradaban Islam melalui kemajuan-kemajuan dalam bidang
ekonomi, ilmu pengetahuan, peninggalan seni dan gedung-gedung bersejarah.
C. Kemunduran
dan Kehancuran Kerajaan Safawi
Sepeninggal Abbas
I kerajaan Safawi berturut-turut diperintah oleh enam raja, yaitu Safi Mirza
(1628-1642 M), Abbas II (1642-1667 M), Sulaiman (1667-1694 M), Husain
(1694-1722), Tahmsap II (1722-1732 M), dan Abbas III (1733-1736 M). pada masa
raja-raja tersebut, kondisi kerajaan Safawi tidak menunjukkan grafik naik dan
berkembang, tetapi justru memperlihatkan kemunduran yang akhirnya membawa
kepada kehancuran.
Safi Mirza cucu
Abbas I, adalah seorang pemimpin yang lemah. Ia sangat kejam terhadap
pembesar-pembesar kerajaan karena sifat pencemburunya. Kemajuan yang pernah
dicapai oleh Abbas I segera menurun. Kota Qandahar (sekarang termasuk wilayah
Afghanistan) lepas dari kekuasaan kerajaan Safawi, diduduki oleh kerajaan
Mughal yang ketika itu diperintah oleh Sultan Syah Jehan, sementara Baghdad
direbut oleh kerajaan Usmani. Abbas II adalah raja yang suka minum-minuman
keras sehingga ia jatuh sakit dan meninggal. Meskipun demikian, dengan bantuan
wazir-wazirnya, pada masa kota Qandahar dapat direbut kembali. Sebagaimana
Abbas II, sulaiman juga seorang pemabuk. Ia bertidak kejam terhadap para
pembesar yang dicurigainya. Akibatnya, rakyat bersikap masa bodoh terhadap
pemerintah. Ia diganti oleh Shah Husein yang alim. Pengganti sulaiman ini
memberi kekuasaan yang besar kepada para ulama Syi’ah yang sering memaksakan
pendapatnya terhadap penganut aliran Sunni. Sikap ini membangkitkan kemarahan
golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri
kekuasaan Dinasti Safawi.[9]
Salah seorang
putra Husein, bernama Tahmsap II, dengan dukungan penuh suku Qazar dan Rusia,
memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan
pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Pada tahun 1726 M Tahmsap II bekerja sama
dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan
digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri
terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian, dinasti Safawi kembali
berkuasa. Namun, pada bulan Agustus 1732 M Tahmsap II dipecat oleh Nadir Khan
dan digantikan oleh Abbas III (anak Tahmsap II) yang ketika itu masih sangat
kecil. Empat tahun setelah itu, tepatnya, 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat
dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian, berakhirlah
kekuasaan dinasti Safawi di Persia.[10]
Diantara
sebab-sebab kemunduran kehancuran kerajaan Safawi ialah:
1. Konflik berkepanjangan dengan
kerajaan Usmani. Bagi kerajaan Usmani, berdirinya kerajaan Safawi yang
beraliran Syi’ah merupakan ancaman langsung terhadap wilayah kekuasaannya.
2. Dekadensi moral yang melanda
sebagian para pemimpin kerajaan Safawi. Ini turut mempercepat proses kehancuran
kerajaan tersebut.
3. Karena pasukan ghulam (budak-budak) yang dibentuk
oleh Abbas I tidak memiliki semangat perang yang tinggi seperti Qizilbash.
4. Seringnya terjadi konflik intern
dalam bentuk perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Kerajaan Safawi berasal dari sebuah tarekat yang berdiri di Ardabil,
tarekat tersebut bernama Safawi. Kerajaan Safawi berada dipuncak kajayaan pada
masa kekuasaan Abbas I. Banyak kemajuan yang dicapai kerajaan Safawi antara
lain dalam bidang politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan bidang pembangunan
fisik dan seni. Akan tetapi setelah Abbas meninggal kerajaan Safawi mengalami
kemunduran, di sebabkan karena raja yang memerintah sangat lemah, sering
terjadinya konflik intern dalam perebutan kekuasaan di kalangan keluarga istana.
Hanya dalam satu abad setelah ditinggalkan Abbas, kerajaan Safawi hancur.
DAFTAR PUSTAKA
Yatim, Badri Dr. M. A. Sejarah Peradaban Islam. PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA, Jakarta.
http://codegyzer.wordpress.com/category/kerajaan-safawi-di-persia/
http://perpusline.blogspot.com/2010/02/perkembangan-kerajaan-safawi-di-persia.html
[1]P.M.
Holt, dkk, (ed), The Cambridge History of Islam, vol. I A,(London:Cambridge
University Press, 1970), hlm 394.
[2]
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jilid III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981, cetakan keempat), hlm. 60
[3] P.
M. Holt, op. cit., hlm. 396.
[4] Ibid., hlm.
397-398.
[5] Ibid., hlm.
398.
[6] Hassan
Ibrahim Hassan, op, cit., hlm 337.
[7]
Ibid., hlm. 503-504.
[8]
Marshal G. S. Hodgson, The Venture of Islam, vol. III, (Chicago: The University of
Chicago Press, 1981), hlm. 40.
[9]
Hamka, Sejarah Umat Islam, III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), hlm. 71-73.
[10]
Ibid., hlm. 428-429.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar